Jakarta (ANTARA) - Wieke mengerjakan sendiri hampir semua hal, dari menyiapkan bahan, memanggang kue, hingga membuat tampilan produk, lengkap dengan caption semenarik ditulis para profesional iklan.
Yang tidak dia lakukan hanyalah mengantarkan kue-kue produksinya kepada para pemesan yang berada jauh dari rumahnya.
Sepuluh tahun lalu apa yang dilakukan Wieke hampir mustahil dilakukan oleh kebanyakan orang.
"Dulu, orang enggak akan bisa jualan kalau tidak punya toko, tapi sekarang di mana pun orang bisa jualan," kata Wieke dalam wawancara online dengan ANTARA pertengahan pekan ini.
Wieke, yang nama lengkapnya Wieke Wuri Wulandari, adalah satu dari puluhan juta perempuan Indonesia yang menggeluti Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).
Menurut data Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan dalam lamannya akhir November 2023, 64 persen dari total UMKM di Indonesia dikelola perempuan.
Usaha kecil yang digeluti para perempuan ini menyumbangkan 60,5 persen dari total Produk Domestik Bruto dan menyerap 96,9 persen dari total penyerapan tenaga kerja nasional.
Tapi di balik itu semua, para perempuan pelaku UMKM itu tidak melalui perjalanan dengan mudah.
Sebaliknya, mereka pernah melewati fase jatuh bangun, yang bisa menjatuhkan mereka tapi juga bisa membuat mereka bertambah kuat.
Proses seperti ini dilalui pula oleh Wieke yang menjalankan usahanya dari rumahnya di Malang.
Ibu dua anak, kelahiran 7 September 1971 itu memulai usaha UMKM-nya pada 2012.
Saat itu, seperti kebanyakan ibu rumah tangga yang menggeluti UMKM, jebolan Universitas Brawijaya itu membuka toko di beberapa mal.
Produk pertama yang dijualnya adalah pakaian, yang dipesannya dari pasar Tanah Abang nun jauh di Jakarta.
Wieke adalah orang yang antusias dengan gadget dan segala hal berkaitan dengan teknologi informasi.
Tak heran, ketika masa-masa awal ponsel pintar berkembang di Indonesia, di mana saat itu BlackBerry menjadi primadonanya, dia memanfaatkan kemajuan teknologi informasi saat itu untuk berjualan, termasuk layanan pesan BlackBerry.
Saat itu, penekanan niaga online-nya belum sedalam seperti dia mengandalkan interaksi niaga secara fisik.
Tapi masa itu, berbagai marketplace sudah mulai menjamur, termasuk Shopee. Demikian pula dengan aplikasi-aplikasi ride-hailing seperti Grab dan Gojek, yang vital bagi pelaku UMKM.
Sejak awal Wieke telah menggunakan hampir semua itu untuk UMKM-nya.
Cuma, lagi asyik-asyiknya menikmati berusaha, iklim ekonomi dihantam badai masalah. Wieke ingat betul hal itu terjadi pada masa-masa Pemilu 2019.
Masa itu banyak usaha gulung tikar, sampai ritel-ritel raksasa menutup gerai, baik karena invasi kultur belanja online maupun karena tuntutan beradaptasi dengan tren zaman.
Yang pasti, para pelaku UMMK seperti Wieke terkena imbasnya. Wieke sampai harus menutup standnya satu per satu, sampai benar-benar mematikannya sekitar 2019 itu juga.
Spesial
Setahun kemudian, badai semakin kencang menghantam dunia usaha.
Badai besar itu adalah pandemi COVID-19.
Seperti banyak pelaku UMKM saat itu, Wieke dipaksa fokus di rumah. Dia mengurangi usaha fesyennya.
"Kebetulan suami punya toko pertanian. Saya kemudian menyimpan stok produk fesyen saya di lantai dua di toko milik suami itu," kata Wieke.
Dia tak semata menyimpan stoknya di toko, karena saat itu dia mulai perlahan beralih total ke platform online.
Saat dampak pandemi terhadap dunia usaha kian ganas, Wieke kehilangan pasar, yang membuatnya menganggur agak lama. Dia sungguh tak suka dengan keadaan ini.
Tetapi kesulitan kadang memunculkan peluang. Dan Wieke mendapati pula momen seperti ini.
Adalah ide berjualan kue yang menjadi jawaban untuk semua kesulitan yang terhampar di depan matanya saat itu.
Bersama putri bungsunya yang saat itu masih studi di bangku kuliah, dia aktif berjualan kue. Awalnya hanya seminggu sekali.
Mereka berjualan di bawah label "de.loyang", yang diilhami dari posisi spesial loyang di mata pembuat kue seperti Wieke, yang selalu menemani mereka beraktivitas di dapur.
"Saat itu omzetnya cuma dua ratus ribuan rupiah," kata Wieke, mengisahkan masa awal usaha kuenya itu.
Dia kemudian bertemu dengan sebuah momen yang mengubah nasib usahanya kemudian, yakni puasa dan Lebaran pertama di era pandemi.
Tak dinyana, banyak orang yang mengorder kue-kue bikinannya, yang saat awal "de.loyang" didirikan, hanya fokus membuat brownies dan macaroni schotel.
Wieke lalu berpikir untuk lebih serius lagi berjualan kue, dengan sepenuhnya memanfaatkan platform digital yang terbukti kemudian melancarkan usaha dan memperluas keahliannya.
Migrasi totalnya ke online ini juga didasari oleh pertimbangan pasar. Dia tak mungkin hanya mengandalkan masyarakat atau tetangga di wilayah sekitar rumah, yang letaknya di pinggiran kota Malang di kawasan Buring.
Dia harus memperluas pasar. Dan dia menemukan jawabannya pada aplikasi-aplikasi marketplace dan ride-hailing.
Platform-platform online itu menjadi jawaban untuk bagaimana kue-kue buatan Wieke menemukan pasarnya dengan lebih luas lagi.
Beberapa lama kemudian, Shopee Food yang ketika itu hendak memperluas penetrasi di Malang, menawari Wieke untuk bermitra. Ini menambah pilihan Wieke, yang sebelumnya sudah terbiasa memanfaatkan GrabFood.
Yang terjadi kemudian, migrasi totalnya ke platform online membuat usaha UMKM yang digeluti Wieke berkembang.
Bersama lima aplikasinya, termasuk Shopee, Grab, dan Tokopedia, pasarnya kini tak lagi terbatas di Malang, tapi meluas ke berbagai daerah di Jawa Timur, bahkan Jakarta dan Bandung, ratusan kilometer dari rumahnya.
Inspirasi
Lompatan usahanya pun meluas. Jika dulu dia hanya bisa menyelesaikan 2-7 transaksi per aplikasi, kini jumlah itu melesat sampai 20 transaksi per hari.
Ini angka yang besar untuk seorang ibu rumah tangga yang tinggal di pinggiran kota dengan masyarakat berdaya beli rendah, apalagi niat awalnya menggeluti UMKM adalah untuk sampingan belaka.
Tetapi bagaimana bisa pembeli "de.loyang" bertambah banyak dari hari ke hari?
Jawabnya, tentu saja karena rasa yang memenuhi selera pembeli, juga harganya yang relatif murah, mulai 4.000-an rupiah.
Faktor lain adalah kemampuan Wieke dalam membangun kesan pertama bagi calon pembeli sehingga tertarik memesan kue-kuenya.
Wieke sadar betul tampilan menentukan minat pembeli. Untuk itu, dia berusaha menampilkan produk-produknya di Instagram-nya dan akun-akun media sosial lainnya, dengan semenarik mungkin.
Di masa lalu, ketika orang belum akrab benar dengan teknologi atau manakala penetrasi teknologi belum seluas sekarang, orang-orang seperti Wieke memerlukan bantuan orang lain yang memiliki keahlian khusus, seperti desain atau layout.
Tapi kini, internet telah membuat orang-orang seperti Wike bisa mempelajari sendiri semua itu, mulai fotografi sampai copy-writing.
Wieke sudah terbiasa memotret sendiri produk-produknya, setelah belajar fotografi dan videografi secara online, dengan hanya berbekal kamera ponsel.
Gambar-gambar yang dia hasilkan pun bagus secara fotografis, dan tentu saja "eye-catching".
Dia juga tahu bagaimana menyunting video dengan memanfaatkan berbagai aplikasi penyuntingan video dan grafis seperti CapCut.
Dia bahkan menggunakan Kecerdasan Buatan (AI) untuk membantunya bagaimana membuat caption yang menarik nan pas bagi produk-produknya.
Itu membuat Wieke terlihat sebagai pelaku UMKM dengan banyak keahlian.
Tapi, ketika sudah banyak hal yang dia dapatkan, Wieke tidak pelit untuk berbagi dengan yang lain.
Dia berbagi dengan puluhan orang di sekitar rumahnya, mulai dari resep kue, sampai bagaimana memanfaatkan secara optimal berbagai platform dan aplikasi online.
Kepada mereka yang dia berdayakan dengan berbagi keterampilan itu, Wieke selalu menekankan bahwa jualan tak dibatasi tempat, siapa pun bisa melakukannya.
Ini inspirasi sama inspiratifnya dengan fakta bahwa teknologi tak saja mendekatkan penjual dengan pembeli sehingga berniaga menjadi lebih mudah, tapi juga membuat pelaku usaha semakin inovatif sehingga niaga pun bertambah efisien dan menguntungkan.
Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2025