Jakarta (ANTARA) - Organisasi masyarakat sipil The Indonesian Legal Resource Center (ILRC) menilai kehadiran Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) belum digunakan secara optimal, khususnya pada femisida seksual yang menimpa anak.
"Kehadiran UU TPKS belum digunakan secara optimal, khususnya pada femisida seksual yang menimpa anak yang umumnya tidak dikaitkan dengan UU TPKS," kata Direktur Eksekutif ILRC Siti Aminah Tardi saat dihubungi di Jakarta, Rabu.
Femisida adalah pembunuhan terhadap perempuan maupun anak perempuan karena alasan gender.
Siti Aminah Tardi mengatakan ILRC melakukan monitoring pemberitaan daring untuk periode 1 Januari sd 31 Desember 2024, dan mencatat terdapat 18 femisida seksual.
Baca juga: Hakim diminta pertimbangkan kekerasan seksual di pembunuhan wartawati
Baca juga: Andy Yentriyani: Komnas Perempuan gigih kenalkan publik isu femisida
Provinsi Jawa Barat menempati urutan teratas terkait lokasi terjadinya femisida seksual, disusul Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sumatera Selatan.
"Femisida seksual umumnya terjadi di tempat publik yang bisa diakses atau dipergunakan masyarakat yang mencapai 67 persen. Seperti di tempat pembuatan batu bata, kebun, hutan, pinggir parit, kuburan, kandang ayam, semak-semak, dan gubuk di sawah. Sementara untuk tempat privat terjadi di rumah korban atau pelaku yang mencapai 33 persen," kata Siti Aminah Tardi.
Menurut dia, kondisi ini memperlihatkan tempat publik tidak aman dan dibutuhkan upaya-upaya pencegahan dan partisipasi publik untuk mengenali kekerasan di sekitarnya.
Sementara dari sisi usia korban, yang termuda berusia 7 tahun, yang tertua berusia 34 tahun.
Sebagian besar korban berada pada rentang usia 18-35 tahun (42 persen) dan rentang usia anak 0-18 tahun (42 persen).
Sementara pelaku sebagian besar juga berada pada rentang usia 18-35 tahun, disusul rentang usia 36-65 tahun.
"Terdapat femisida seksual dengan pemerkosaan berkelompok yang dilakukan anak terhadap anak pada rentang usia 12-16 tahun, yang didorong oleh fantasi seksual akibat paparan pornografi. Hal ini memerlukan perhatian kita agar anak-anak tidak mengakses pornografi dan menolak ajakan teman sebaya untuk melakukan kekerasan seksual,” ujar Siti Aminah Tardi.*
Baca juga: Manuwani: Stigma membuat pekerja seks rentan jadi korban femisida
Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2025