Malang, Jawa Timur (ANTARA) - Salah satu warga di Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Malang, Jawa Timur, memasang lakban pada kaca-kaca jendela rumahnya untuk meredam dampak kerusakan akibat dentuman suara musik dari sound horeg yang kini marak.
Sound horeg bukan hanya marak dalam wujud nyata, ketika sekelompok orang membunyikan musik lewat perangkat pelantang suara yang diangkut menggunakan pikup atau truk, kemudian berkeliling di areal kampung atau di jalan raya. Bunyi lain dari pengeras suara itu juga menggema dalam diskusi-diskusi atau perbincangan di berbagai lini media sosial.
Sejumlah pihak, baik organisasi maupun pemerintah memberi perhatian khusus pada fenomena sosial, dimana masyarakat membutuhkan hiburan, lewat berbagai sarana kreatif, seperti sound horeg, namun berdampak tidak nyaman pada masyarakat lainnya.
Respons itu kemudian menjadi ikhtiar kolaboratif yang melibatkan semua pihak, seperti dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur yang mengeluarkan fatwa haram pada sound horeg pada pertengahan Juli 2025.
Fatwa haram pada sound horeg itu muncul bukan semata pada bunyi sound, tetapi suara yang nyaringnya yang melebihi batas kemampuan gendang telinga manusia, sehingga berbahaya bagi kesehatan pendengaran. Selain itu bunyi yang melebihi batas itu bisa merusak benda-benda milik masyarakat, saat rombongan sound horeg itu melintas, misalnya kaca pada jendela rumah bisa retak, bahkan pecah.
Karena itu, fenomena hiburan sound horeg ini berpotensi menimbulkan gejolak sosial, antara penyuka dengan masyarakat yang merasa terganggu.
Pemerintah Provinsi Jawa Timur merespons cepat terhadap fenomena ini. Hanya saja, pemprov tidak bisa langsung menetapkan satu keputusan, terlebih, jika masyarakat mengharapkan munculnya keputusan melarang penggunaan sound horeg dalam satu kegiatan, seperti karnaval atau hajatan khusus dari anggota masyarakat di suatu daerah.
Kesulitan pemerintah untuk membuat keputusan mengenai fakta sosial itu, antara lain terletak pada diksi hukum, karena sound horeg merupakan istilah baru, sehingga perlu dicarikan formula dan pemosisian yang lebih tepat dari sisi regulasi.
Pemerintah Provinsi Jatim telah mengumpulkan sejumlah elemen masyarakat terkait untuk membahas masalah ini untuk menampung masukan. Dari masukan-masukan itu, dalam beberapa hari ke depan akan ditetapkan keputusan.
Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO telah merekomendasikan batas aman kebisingan di angka 85 desibel (dB), dengan durasi maksimal selama delapan jam. Jika lebih dari itu dampaknya bisa mengganggu pendengaran.
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.