Bima, Nusa Tenggara Barat (ANTARA) - Saat itu memasuki waktu petang. Siti Hadijah, warga Desa Naga Wera, Kecamatan Wera, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), masih mengingat jelas suara gemuruh air yang muncul dari arah bibir sungai membawa batang-batang kayu berukuran besar bersama material bebatuan.
Air berwarna cokelat pekat setinggi pohon langsung menghantam rumah dan perlahan badan Hadijah yang berdiri di sisi depan pintu rumah dan satu kakinya secara tak sadar bersandar di anak tangga semen. Pelan tapi pasti, badan Hadijah akhirnya terlepas dengan rumah kayu yang berisi enam orang.
Perempuan berusia 65 tahun itu menceritakan suasana di atas rumah dan dialog terakhirnya dengan enam orang keluarganya yang terbawa arus di rumah tersebut.
Awalnya banjir hanya berupa genangan air pendek dan menantu Hadijah yang bernama Haryani sempat turun untuk menonton bersama warga lainnya juga membantu warga yang terdampak. Dia memanggil menantunya untuk naik ke rumah lantaran banjir semakin besar dan kebetulan cucunya sedang menangis.
Di atas rumah, Hadijah bersama Haryani dengan cucunya, Ibrahim (suami), dan Juliani yang saat itu menggendong anak. Saat berada di atas rumah, Hadijah meminta Haryani dan Juliani agar segera turun bersama anak-anaknya karena kondisi banjir semakin tinggi.
Mereka menyuruh balik dia untuk turun bersama bapak, sembari Haryani menelepon, bercerita kepada orang tuanya. Saat itu suaminya tidak ada di rumah karena sedang berada di lahan.
Hadijah lanjut melihat situasi yang mencekam saat banjir bandang yang datang tiba-tiba menyapu semua benda yang menghalangi. Dia pindah ke sisi depan dekat pintu untuk melihat arus banjir. Sementara, enam orang korban bertahan di posisi masing-masing.
"Tiba-tiba banjir setinggi pohon menghantam rumah, perlahan tubuh saya pun terlepas dengan rumah dan pandangan ke mereka sembari berteriak. Dari jauh saya melihat, Haryani mencoba untuk turun di arah belakang (dapur). Tapi, banjir terlalu deras hingga ia pun terlepas dengan anaknya," ungkap Hadijah kepada ANTARA pada pertengahan Februari 2025.
Wanita paruh baya itu merupakan satu-satunya korban yang selamat dari maut yang menyeret enam orang dan rumah kayu jati milik anaknya Aron (suami dari korban Hariyani) yang hilang tak bertanda hingga di hari ke-20.
Hadijah menjadi saksi mata yang hingga hari ini terus dihantui oleh kematian enam orang keluarganya. Sebanyak enam korban tewas akibat banjir itu adalah Juliani (32 tahun) dan Aisah (5 tahun) korban yang sudah ditemukan oleh tim SAR gabungan.
Sedangkan, korban yang belum ditemukan adalah Hariyani (28 tahun), Irgi (4 tahun), One (10 bulan), dan Ibrahim (75 tahun).
Pada 2 Februari 2025, banjir bandang melanda Kecamatan Wera dan Kecamatan Ambalawi di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Bencana alam itu membawa dampak signifikan terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat desa sekitar, seperti Nanga Wera, Wora, Tala Piti, Mawu, Nipa, dan Tolo Wata.
Luapan sungai mengganggu aktivitas warga, meningkatkan angka pengungsian, dan menimbulkan berbagai penyakit akibat sanitasi yang kurang baik pasca-bencana.
Tak hanya itu, banjir bandang juga menghancurkan sektor perdagangan, menghambat distribusi barang, dan merusak infrastruktur pertanian yang menjadi sumber mata pencaharian utama masyarakat.
Banjir bandang yang merendam Wera dan Ambalawi disebabkan oleh berbagai faktor hidrologi dan tata ruang yang tidak terkelola dengan baik. Faktor hidrologi meliputi curah hujan tinggi, sedimentasi sungai, serta perubahan aliran air akibat deforestasi di daerah hulu.
Sementara itu, faktor tata ruang seperti alih fungsi lahan, pembangunan di daerah resapan air, dan kurangnya infrastruktur pengendalian banjir memperburuk dampak bencana ini. Kombinasi kedua faktor itulah menjadikan Wera sebagai wilayah yang rentan terhadap banjir tahunan.
Trauma dan ketakutan
Masyarakat terdampak mengalami trauma dan ketakutan akibat bencana hidrometeorologi tersebut. Kehilangan anggota keluarga, harta benda, dan tempat tinggal menimbulkan tekanan psikologis yang mendalam, termasuk kemungkinan banjir susulan kian menambah kecemasan.
Sebanyak 860 orang terdampak oleh banjir bandang dengan 60 di antaranya mengungsi ke tempat yang lebih aman, seperti rumah kerabat, sedangkan sisanya memilih bertahan di rumah masing-masing.
Banjir bandang mengakibatkan delapan warga terseret arus. Hingga pertengahan Februari 2025, empat korban telah ditemukan dalam keadaan meninggal dunia, sementara empat lainnya masih dalam pencarian oleh tim gabungan yang melibatkan Basarnas, TNI, Polri, BPBD, dan relawan kebencanaan.
Desa Nanga Wera menjadi salah satu yang paling parah terdampak dengan 120 jiwa penduduknya kehilangan tempat tinggal karena rumah mereka hanyut terbawa arus. Desa-desa lain seperti Wora, Tala Piti, Mawu, Nipa, dan Tolo Wata mengalami kerusakan infrastruktur seperti halnya SMPN 2 Ambalawi, SMP dan SMA Satu Atap Muhammadiyah Ambalawi serta rumah warga.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Nusa Tenggara Barat memperkirakan kerugian materiil akibat banjir mencapai Rp81 miliar. Kerugian itu mencakup kerusakan sarana dan prasarana, lahan yang tertimbun banjir, rumah penduduk yang hanyut, serta infrastruktur publik berupa jembatan dan jalan.
Kepala Pelaksana BPBD Nusa Tenggara Barat Ahmadi memaparkan berbagai kerusakan meliputi 12 unit rumah senilai Rp1,2 miliar, 3 unit jembatan putus senilai Rp60 miliar, jalan rusak sepanjang satu kilometer senilai Rp100 juta, pipa air minum Rp200 juta.
Selain itu, fasilitas yang juga rusak adalah bronjong sungai jebol akibat banjir bandang dengan nilai kerugian Rp600 juta, 200 hektare sawah tergenang senilai Rp6 miliar, dan kerugian lainnya sekitar Rp1,5 miliar.
Kerusakan lahan pertanian menyebabkan para petani gagal panen. Hal itu menghilangkan sarana produksi yang menyebabkan berkurangnya hasil pertanian, sehingga berdampak terhadap ketahanan pangan masyarakat lokal.
Banjir menyebabkan degradasi tanah dan hilangnya lapisan subur yang berpotensi mengurangi produktivitas pertanian dalam jangka panjang. Strategi adaptasi sangat diperlukan untuk memulihkan tanah yang rusak melalui penerapan sistem pertanian tahan banjir, pembangunan embung, serta peningkatan diversifikasi tanaman untuk menjaga ketahanan pangan.
Resiliensi masyarakat
Masyarakat Wera telah mengembangkan berbagai strategi adaptasi untuk bertahan dari dampak banjir meliputi pembangunan rumah panggung, penggunaan perahu sebagai alat transportasi darurat, serta penyimpanan cadangan pangan dan air bersih.
Di sisi mitigasi, beberapa komunitas mulai melakukan reboisasi, pembuatan tanggul, serta pengelolaan sampah yang lebih baik untuk mencegah penyumbatan saluran air. Meskipun langkah-langkah itu telah membantu tetap diperlukan dukungan lebih besar dari pemerintah dan lembaga terkait untuk memperkuat resiliensi masyarakat.
Pemerintah memiliki peran kunci dalam pengelolaan risiko banjir melalui kebijakan mitigasi, pembangunan infrastruktur, serta edukasi kepada masyarakat. Program pembuatan saluran drainase, normalisasi sungai, serta relokasi pemukiman di daerah rawan harus menjadi langkah prioritas.
Masyarakat juga berperan aktif dalam pencegahan bencana dengan menjaga lingkungan, meningkatkan kesadaran kolektif, serta bekerja sama dalam sistem peringatan dini berbasis komunitas.
Pemerintah Kabupaten Bima telah mengimplementasikan berbagai strategi untuk mengurangi risiko bencana, seperti penguatan kapasitas kelembagaan, perencanaan penanggulangan bencana yang terpadu, serta pendidikan dan pelatihan kebencanaan bagi masyarakat.
Pemerintah pusat dan daerah bekerja sama dalam penanganan darurat, seperti evakuasi korban, penyediaan bantuan logistik, dan perbaikan infrastruktur yang rusak.
Adapun Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat telah menginstruksikan organisasi perangkat daerah atau OPD terkait untuk segera melakukan langkah penanganan darurat pasca banjir di Kabupaten Bima.
Partisipasi aktif masyarakat menjadi kunci dalam pengurangan risiko bencana. Keterlibatan warga dalam kegiatan seperti pengaturan sampah, pembersihan saluran drainase, dan pembuatan biopori di halaman rumah dapat mengurangi potensi banjir.
Selain itu, kesadaran dan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana perlu terus ditingkatkan melalui sosialisasi dan pelatihan rutin.
Sinergi antara pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan risiko bencana harus terus diperkuat. Pemerintah perlu meningkatkan kapasitas teknis dan mekanisme penanganan darurat yang efektif, sementara masyarakat diharapkan lebih proaktif dalam upaya mitigasi dan adaptasi terhadap potensi bencana.
Ketangguhan (resiliensi) masyarakat menghadapi bencana harus terus dijaga dan ditingkatkan guna mengantisipasi terjadinya dampak yang lebih besar. Apalagi NTB merupakan wilayah yang memiliki potensi bencana alam hidrometeorologi maupun bencana alam lainnya seperti gempa bumi dan gunung berapi.
Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2025