Jakarta (ANTARA) - Kita sering menggembar-gemborkan pemuda sebagai tulang punggung bangsa, sebagai agen perubahan yang membawa Indonesia Emas.
Namun, bagaimana jika tulang punggung tersebut rapuh, tergerus oleh beban utang pinjaman daring, perjudian daring, serta berpacaran hingga "hamil di luar nikah"?
Film "GJLS: Ibuku Ibu-Ibu" menyajikan sebuah pengalaman sinematik yang mengocok perut seperti ini.
Sebuah komedi yang secara bersamaan lucu, sarkastik, dan memiliki nuansa "mumblecore" seperti genre yang berkembang di AS era 2000-an awal.
Karakteristik utama film-film "mumblecore" adalah penggunaan improvisasi dalam penyutradaraan dan sinematografi, yang menjadi elemen sentral sepanjang proses produksi.
Baik aktor, sutradara, maupun penata kamera terlibat dalam improvisasi itu.
Keautentikan estetika yang dihasilkan menjadikannya kontras secara signifikan terhadap karya-karya film "arthouse" yang kaya akan simbolisasi untuk menyampaikan pesan film secara tajam.
Berbeda pula dengan film konvensional, film ini melalui proses penyuntingan yang ekstensif untuk mencapai hasil akhir yang diharapkan, bahkan sampai menyisipkan klip adegan salah ("bloopers") sebagai bagian dari komedinya pun dilakukan.
Dialog dan situasi spontan dalam "bloopers" juga dibuat selaras dengan alur cerita yang telah dirancang.
Layaknya film Mumblecore di AS, film itu seperti menampilkan aktor non-profesional berakting di lingkungan sehari-hari saja.
Jalan cerita
Pada film panjang perdana trio GJLS itu, awalnya, penonton disuguhi sosok Tyo (Bucek), seorang juragan kosan yang baru saja ditinggal mendiang istrinya.
Duka itu seharusnya menjadi momen duka, namun bagi ketiga anaknya — Rigen (Rigen Rakelna), Hifdzi (Hifdzi Khoir), dan Rispo (Rispo Ananta) — kedukaan itu berubah menjadi peluang.
Peluang untuk apa? Untuk melobi Tyo agar menjual aset keluarga demi menutupi bobrok finansial mereka.
Hifdzi membutuhkan uang untuk menikahi pacarnya yang sedang hamil, Rigen pusing karena harus mengganti mobil bos EO yang dipinjamnya namun raib entah ke mana, dan Rispo? Dia adalah penjudi daring, yang diburu penagih utang pinjaman daring bak vampir haus darah.
Tapi, kejutan tak terduga datang. Tyo, sang kepala keluarga bukannya menjual kos, malah tak kalah absurd dari putranya, mengumumkan akan menikahi Feni (Nadya Arina), seorang SPG muda yang menghuni kosnya.
Lebih gila lagi, Tyo berencana mewariskan usaha kos-kosan kepada Feni. Tentu saja, trio GJLS langsung curiga.
Bagi mereka, Feni adalah serigala betina berbulu domba yang mengincar harta. Maka, dimulailah episode-episode sabotase yang dilakukan dengan kecerdasan komedi absurd yang mengundang tawa sekaligus gelengan kepala.
Ketika GJLS sibuk dengan intrik murahan, seorang teman lama Tyo yaitu Sumi (Luna Maya) datang menghampiri sang duda dengan senyum manis memperdaya, membuatnya semakin kehilangan arah.
Di sinilah, ketiga bersaudara semakin dipaksa untuk berjuang mati-matian untuk menyelamatkan apa yang tersisa dari harta keluarga dan, mungkin, harga diri mereka di mata sang ayah.
Momen-momen putus asa yang diisi dengan dialog cerdas, "punchline" tak terduga, dan tingkah polah konyol yang menjadi "trademark" para komika ini.
Film karya rumah produksi yang juga memproduksi "Mendadak Dangdut (2025) itu didukung oleh para pemeran ternama yang ikut absurd di film ini seperti Umay Shahab, Reynavenzka Deyandra, hingga Maxime Bouttier.
Dan tak lupa, ada Binasrul dan temannya yang memiliki kondisi sumbing (diperankan Muhammad Kadavi).
Meskipun tak banyak porsi, kehadiran mereka adalah sentuhan jenius yang menambah lapisan absurditas.
Dialog Davi yang "sulit dicerna", menunjukkan bagaimana komunikasi yang terdistorsi dapat memicu tawa.
Umay Shahab ketika berperan sebagai dokter pun tidak kalah kocak ketika berhadapan dengan trio GJLS. Kenormalan? Itu cuma ilusi dalam film ini.
Meskipun beberapa lelucon yang mungkin memicu kontroversi di era modern, banyak bit komedi di film ini yang tetap tajam dan relevan, mengocok perut penonton sekaligus menyentil realitas sosial.
Akrobat komedi
Sutradara Monty Tiwa secara kreatif memadukan cuplikan adegan kesalahan ("bloopers") dalam penyutradaraan untuk menghasilkan atraksi akrobat komedi.
Komedi GJLS yang cenderung absurd, jika tanpa alur cerita yang terstruktur selama 90 menit, tentu berpotensi membingungkan penonton.
Oleh karena itu, ia dan tim produksi bertanggung jawab untuk mengemas itu secara menarik agar dapat dinikmati oleh seluruh penonton, termasuk mereka yang belum mengenal kelompok tersebut.
Formula penyutradaraan itu merupakan inovasi baru Monty dalam industri perfilman, sepanjang pengalamannya 25 tahun syuting.
Ia sendiri mengaku tidak tahu harus menyebut itu teori penyutradaraan seperti apa.
Dalam teori di film-film memang ada teori "breaking the fourth wall", tokohnya bisa ngomong langsung ke penonton. Nah, di "GJLS" ada yang lebih ekstrem, karakternya sampai ngomong langsung ke sutradara.
Film "GJLS: Ibuku Ibu-Ibu" dijadwalkan tayang di bioskop seluruh Indonesia mulai 12 Juni 2025.
Sebelum terjun ke film layar lebar untuk film "GJLS: Ibuku Ibu-Ibu", trio GJLS juga sempat merilis film pendek berjudul "Kuyup" di YouTube pada 2020 lalu.
Kedua film, baik film panjang maupun film pendek, mengusung genre yang disebut oleh para pemerannya sebagai “scientific comedy”, film yang menghadirkan humor yang diklaim memiliki formula pasti, layaknya ilmu eksak.
Eksekutif produser film itu merupakan sosok penting dalam kemunculan Standup Comedy Indonesia (SUCI) di televisi tanah air, Indra Yudhistira, menurut Ananta Rispo.
Harapannya GJLS bisa seperti Warung Kopi Dono, Kasino, Indro, terutama soal banyak filmnya, Rispo berharap.
Film ini juga memunculkan lagu tema bergenre dangdut berjudul "Feromon", yang dipopulerkan oleh Orkes Pensil Alis, grup musik yang turut digawangi pemeran film Hifdzi Khoir.
Dalam film, lagu tersebut dinyanyikan oleh aktor Bucek Depp dan Nadya Arina.
Selain itu, film tersebut juga menampilkan musik latar dari lagu Gusti Irwan Wibowo bertajuk "Akhir Awal".
Kemunculan "mumblecore", seiring dengan geliat kembali perfilman Indonesia pasca-kesuksesan film animasi Jumbo, merefleksikan dinamika dan diversifikasi yang semakin pesat dalam industri perfilman nasional.
Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2025