Jakarta (ANTARA) - Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menyatakan Indonesia perlu mengadopsi pendekatan Bank Dunia dalam mengukur tingkat kemiskinan.
Saat dihubungi di Jakarta, Selasa, Wijayanto mengakui standar Bank Dunia terlalu tinggi bagi Indonesia, mengingat standar tersebut diperuntukkan bagi negara berpendapatan menengah atas dengan produk domestik bruto (PDB) per kapita berkisar 4.500 dolar AS hingga 14.000 dolar AS.
Sementara PDB per kapita Indonesia sebesar 4.900 dolar AS. Meski masuk ke dalam kelompok negara berpendapatan menengah atas, namun Indonesia berada pada ambang batas bawah standar kelompok tersebut.
Pada saat yang sama, Garis Kemiskinan (GK) Indonesia dinilai terlalu rendah, sehingga perlu penyesuaian dengan pendekatan Bank Dunia.
“Salah satu solusi yang mungkin adalah menaikkan secara gradual, menuju standar Bank Dunia saat PDB per kapita kita mendekati 9.500 dolar AS mendekati median negara berpendapatan menengah atas, misalnya,” ujar Wijayanto.
Sedangkan, kata dia lagi, kurangnya akurasi data tingkat kemiskinan berimbas pada tingkat efektivitas program pemerintah.
Standar GK yang rendah membuat pemerintah berfokus pada program bantuan sosial (bansos). Padahal, pemerintah dianggap perlu menjalankan program yang sifatnya struktural dan substantif.
Untuk itu, Wijayanto menyarankan pemerintah fokus kepada program-program yang menciptakan aktivitas ekonomi baru, meningkatkan produktivitas, dan berkelanjutan.
Sebagai contoh, pemerintah bisa meningkatkan anggaran Kementerian Pekerjaan Umum (PU) untuk proyek padat karya, seperti jalan desa dan irigasi.
Kemudian, memperbesar diskon bunga untuk proyek rumah rakyat melalui Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) serta relaksasi secara rasional penghematan biaya rapat dan perjalanan dinas.
Sebagai catatan, Bank Dunia melalui laporan bertajuk “June 2025 Update to the Poverty and Inequality Platform” memperbarui metode perhitungan tingkat kemiskinan dengan menggunakan paritas daya beli atau purchasing power parity (PPP) 2021 yang dipublikasikan oleh International Comparison Program (ICP) pada Mei 2024. Sebelumnya, Bank Dunia menggunakan PPP 2017 pada laporan April 2025.
Penerapan PPP 2021 merevisi garis kemiskinan pada tiga lini. Untuk garis kemiskinan internasional yang menjadi standar tingkat kemiskinan ekstrem, nilainya direvisi dari 2,15 dolar AS menjadi 3 dolar AS per kapita per hari.
Garis kemiskinan negara berpenghasilan menengah bawah berubah dari 3,65 dolar AS menjadi 4,20 dolar AS per kapita per hari.
Sedangkan negara berpenghasilan menengah atas berubah dari 6,85 dolar AS menjadi 8,30 dolar AS per kapita per hari.
Dengan garis kemiskinan 6,85 dolar AS per kapita per hari (menggunakan PPP 2017 atau sebelum revisi), sekitar 60,3 persen penduduk Indonesia pada 2024 dianggap hidup di bawah standar kemiskinan menengah atas.
Sedangkan dengan menggunakan perhitungan PPP 2021 dengan standar garis kemiskinan negara berpendapatan menengah ke atas 8,30 dolar AS, maka persentase penduduk miskin di Indonesia mencapai 68,25 persen.
Baca juga: Pengamat sebut standar kemiskinan Bank Dunia tak cerminkan kondisi RI
Baca juga: Ekonom: Data kemiskinan versi Bank Dunia perlu dibaca secara hati-hati
Pewarta: Imamatul Silfia
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2025