Mataram (ANTARA) - Senja di Pantai Nipah, Lombok Utara biasanya jadi ruang romantis bagi siapa pun yang datang. Garis pantainya berlekuk lembut, lautnya biru, dan matahari sore perlahan tenggelam di balik perbukitan.
Pada sore itu, 26 Agustus 2025, dua mahasiswa Universitas Mataram berangkat ke sana untuk sekadar menikmati indahnya cahaya senja. Namun, perjalanan ringan itu berubah menjadi tragedi yang mencabut nyawa Ni Made Vaniradya Puspa Nutra, mahasiswi berusia 19 tahun.
Ia ditemukan keesokan paginya, terlungkup di pasir, tak bernyawa. Rekan prianya, Radiet Adiansyah, yang sebelumnya dikira sama-sama korban begal, justru kemudian ditetapkan polisi sebagai pelaku pembunuhan. Fakta ini mengejutkan banyak pihak. Dari dugaan kejahatan jalanan, kasus berubah menjadi kejahatan interpersonal yang dilakukan orang dekat.
Kematian Vaniradya mengguncang publik Lombok dan mahasiswa Unram. Awalnya publik mengira peristiwa ini bagian dari maraknya kasus begal di NTB. Namun penyelidikan panjang, termasuk uji DNA di Labfor Bali, autopsi forensik, dan pemeriksaan 36 saksi, menguak kenyataan pahit bahwa ia dibunuh rekan yang dipercaya.
Tragedi ini menyentil fakta yang jarang dibicarakan. Kekerasan, terutama yang berujung maut, tidak selalu datang dari orang asing. Data Komnas Perempuan (2024) menunjukkan, lebih dari 60 persen kasus kekerasan terhadap perempuan justru dilakukan oleh orang yang dekat dengan korban seperti pasangan, teman, atau bahkan keluarga. Fenomena intimate partner violence bukan hanya masalah rumah tangga, tetapi bisa muncul di lingkar pertemanan mahasiswa, seperti yang terjadi di Pantai Nipah.
Kondisi ini menegaskan bahwa narasi “ruang aman” bagi perempuan masih rapuh. Tidak ada jaminan bahwa pertemanan, hubungan asmara, atau kedekatan sosial otomatis menghadirkan perlindungan. Justru dalam relasi yang tidak sehat, risiko manipulasi, kontrol, bahkan kekerasan semakin besar.
Alarm bagi kampus dan mahasiswa
Kasus ini harus dibaca bukan hanya sebagai tragedi kriminal, melainkan juga sebagai alarm bagi dunia kampus. Lingkungan akademik sering dianggap “zona aman”, tetapi nyatanya tidak sepenuhnya bebas dari kekerasan berbasis gender.
Dari catatan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), aduan kekerasan seksual di kampus meningkat dalam lima tahun terakhir, terutama setelah hadirnya Permendikbudristek No. 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan perguruan tinggi.
Kampus perlu menyadari bahwa mahasiswa tidak hanya berhadapan dengan tugas kuliah, tetapi juga risiko sosial-emosional dalam relasi pertemanan. Tragedi Nipah adalah momentum bagi universitas untuk memperkuat literasi gender, layanan konseling, dan sistem pelaporan darurat. Pendidikan tinggi tidak boleh hanya melahirkan lulusan cerdas, tetapi juga manusia yang matang secara emosional, beretika, dan mampu menghormati orang lain.
Bagi mahasiswa, tragedi ini juga menjadi refleksi. Relasi sosial yang sehat perlu dibangun atas dasar saling menghormati. Mengelola emosi, menghindari kekerasan verbal maupun fisik, serta mencari bantuan ketika konflik tak terkendali, adalah keterampilan hidup yang sama pentingnya dengan kecakapan akademik.
Ujian bagi aparat kepolisian
Polisi bekerja cepat mengurai misteri kematian Vaniradya. Dari dugaan begal, kasus dialihkan menjadi pembunuhan. Proses ini menunjukkan pentingnya metode penyelidikan berbasis sains yakni autopsi, uji DNA, dan tes poligraf membantu memperkuat bukti.
Namun publik tetap menunggu langkah lanjut, bagaimana memastikan kasus ini tidak sekadar berhenti pada penetapan tersangka, tetapi juga memberi efek jera dan keadilan bagi korban.
Pihak kepolisian juga punya pekerjaan rumah yang lebih luas. NTB dikenal sebagai daerah wisata yang kerap dilabeli rawan begal. Kasus Pantai Nipah menambah catatan kelam. Polisi perlu meningkatkan kehadiran di titik-titik rawan, memperkuat patroli, serta menggandeng masyarakat lokal menjaga keamanan.
Lebih dari itu, aparat harus sensitif terhadap isu kekerasan berbasis gender. Setiap laporan perempuan korban kekerasan mesti ditangani dengan serius, cepat, dan berperspektif korban.
Di banyak negara, polisi bahkan memiliki unit khusus untuk menangani kasus gender based violence (GBV) atau kekerasan berbasis gender. Di Indonesia, langkah serupa mulai ada dengan Unit PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak), tetapi sering kali sumber daya dan dukungan masih terbatas. Kasus Vaniradya seharusnya menjadi pengingat untuk memperkuat kapasitas unit tersebut.
Menata ruang aman bersama
Tragedi Nipah menyisakan pesan moral bahwa ruang publik kita masih rentan bagi perempuan. Dari jalanan kota hingga pantai wisata, ancaman bisa datang kapan saja. Untuk itu, ada tiga lapisan solusi yang perlu digerakkan bersama.
Pertama, solusi di level individu dan mahasiswa. Penting membangun kesadaran bahwa relasi pertemanan tidak boleh jadi ruang manipulasi atau kekerasan. Mahasiswa perlu dibekali literasi emosi, pengendalian diri, dan penghargaan terhadap martabat orang lain. Kegiatan kampus dan organisasi kemahasiswaan bisa menjadi wadah pendidikan karakter yang lebih konkret.
Kedua, solusi di level kampus. Universitas Mataram dan kampus-kampus lain harus berani membangun jaring pengaman yang jelas seperti unit layanan konseling, mekanisme pelaporan yang ramah korban, serta kerja sama dengan aparat dalam pencegahan. Kampus juga bisa mengintegrasikan pendidikan anti-kekerasan ke dalam kurikulum atau program orientasi mahasiswa baru.
Ketiga, solusi di level negara dan aparat. Polisi, jaksa, dan hakim harus bekerja dengan perspektif korban. Penegakan hukum yang tegas, transparan, dan berkeadilan akan menjadi sinyal kuat bahwa negara hadir melindungi warganya. Selain itu, kebijakan keamanan daerah wisata juga perlu diperkuat agar NTB tidak terus dibayang-bayangi citra rawan kriminalitas.
Kematian Vaniradya bukan sekadar kisah duka sebuah keluarga. Ia adalah cermin tentang rapuhnya ruang aman bagi perempuan muda, bahkan di tengah lingkar pertemanan.
Tragedi di Pantai Nipah menegur kita semua bahwa orang dekat bisa menjadi ancaman, ruang publik belum ramah bagi perempuan, dan sistem kampus serta aparat harus bekerja lebih keras.
Senja di Pantai Nipah akan tetap indah, tetapi bagi keluarga Vaniradya, ia berubah jadi kenangan pahit. Agar tragedi serupa tidak berulang, kita harus berani menjadikannya pelajaran.
Bahwa keamanan bukan hanya tugas polisi, tetapi juga kampus, komunitas, bahkan diri kita sendiri. Dan bahwa relasi sosial yang sehat, penuh hormat, dan setara adalah fondasi peradaban yang lebih aman.
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.