Jakarta (ANTARA) - Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi produsen baja hijau dunia, sebuah langkah yang tidak hanya mendukung target dekarbonisasi, tetapi juga membuka pintu ke pasar ekspor global yang kian menuntut produk berkelanjutan.
Laporan Perdagangan dan Investasi Berkelanjutan Indonesia 2025 yang dirilis CSIS di Jakarta, Jumat, menyebutkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara penghasil baja terbesar di Asia Tenggara, bahkan Indonesia menempati peringkat ke-4 sebagai eksportir baja terbesar pada 2023, dengan China menjadi tujuan utama ekspor baja (69 persen), diikuti oleh Taipei (8 persen), India (6 persen), dan Vietnam (4 persen).
Pada 2023, kapasitas produksi baja Indonesia mencapai 16 juta ton dan diperkirakan akan mencapai 33 juta-35 juta ton pada 2030.
Laporan tersebut menyebut bahwa perkembangan ini, ditambah dengan inisiatif beberapa perusahaan seperti PT Gunung Raja Paksi dan PT Krakatau Posco yang sudah mulai beralih ke teknologi yang lebih bersih, membuka peluang bagi Indonesia untuk memperkuat posisinya dalam rantai pasok global industri baja hijau.
Namun, Research Associate Climate Policy Research Unit CSIS Indonesia Via Azlia mengatakan bahwa perjalanan menuju dominasi baja hijau di pasar global tidak tanpa hambatan. Salah satu tantangan utama adalah harga baja hijau yang lebih tinggi, membuatnya kurang kompetitif di pasar domestik dibandingkan produk konvensional.
Selain itu, produk baja impor yang belum memenuhi standar lingkungan menciptakan persaingan yang tidak adil bagi produsen domestik yang berupaya untuk lebih berkelanjutan. Via juga menyoroti ketidaksesuaian standar yang kini dimiliki Indonesia dengan standar internasional.
Dari sisi regulasi, Via menyebut Indonesia masih menghadapi fragmentasi kebijakan terkait industri hijau. Belum ada kerangka kebijakan yang menyeluruh atau "payung" yang dapat mengintegrasikan berbagai inisiatif seperti India yang sudah memiliki green steel taxonomy, yang menciptakan ekosistem pendukung bagi baja hijau.
“Jadi sudah ada ekosistem yang terbentuk dari baja hijau. Dan juga kalau kita lihat tantangan implementasinya sendiri penggunaan energi memang masih menjadi tantangan karena masih bergantung pada batu bara,” kata Via.
Laporan tersebut merekomendasikan beberapa kebijakan yang dapat mendorong percepatan transisi menuju industri hijau di Indonesia, antara lain penguatan kebijakan terintegrasi untuk agenda industri hijau, harmonisasi standar serta sertifikasi industri hijau, serta pengembangan ekosistem permintaan terhadap produk hijau.
Lebih lanjut, laporan tersebut menyebutkan bahwa dekarbonisasi industri-industri dengan emisi tinggi seperti besi dan baja menjadi penting.
Sebab, dari sisi permintaan, perhatian sektor publik dan swasta di negara-negara maju terkait cara produksi yang lebih hijau dan jasa industri hijau terus bertumbuh, sehingga seringkali menjadi faktor penentu untuk mendapatkan akses pasar ke dalam negeri mereka maupun investasi mereka di luar negeri.
Baca juga: Industri baja nasional dukung akselerasi ekonomi hijau
Baca juga: Produsen baja dorong kolaborasi masa depan industri rendah emisi
Pewarta: Shofi Ayudiana
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.