Jakarta (ANTARA) - Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Eliza Mardian merekomendasikan untuk mengoptimalkan teknologi digital sebagai upaya memberantas peredaran beras oplosan di dalam negeri.
“Bisa kembangkan sistem pelacakan beras berbasis teknologi (misalnya, blockchain) untuk memantau rantai pasok dari petani hingga konsumen, memastikan transparansi dan mencegah manipulasi, serta memudahkan pengawasan,” kata Eliza saat dihubungi di Jakarta, Minggu.
Seiring dengan itu, menurut dia, perlunya memperkuat pengawasan, yang mana Kementerian Koordinator Bidang Pangan perlu melakukan koordinasi lintas kementerian/lembaga (K/L) guna menangani peredaran beras oplosan.
“Ini tidak hanya melibatkan Kementerian Pertanian, tapi juga Kementerian Perdagangan. Jadi, perlunya harmonisasi antar instansi agar efektif menangani kasus ini,” ujar Eliza.
Selain itu, ia mengatakan diperlukan sanksi tegas untuk menimbulkan efek jera, yang meliputi pemberian denda hingga pencabutan izin usaha atau pelarangan distribusi bagi produsen yang terbukti melakukan pelanggaran.
Lebih lanjut, ia merekomendasikan untuk menetapkan regulasi ketat terkait standarisasi kualitas beras premium, yang mencakup pengujian rutin terhadap kadar air, butir kepala, serta kepatuhan takaran.
Kemudian, perlunya mewajibkan sertifikasi untuk produsen beras premium, yang bisa melibatkan jasa pemastian demi memastikan mutu beras agar konsumen beras premium tidak dirugikan.
“Serta perlunya perkuat regulasi pelabelan buat memastikan ada informasi yang lengkap di kemasan (misalnya, kelas mutu, berat bersih, komposisi dan kalau bisa bisa menelusuri asalnya atau 'traceability' yang mudah dipahami oleh konsumen. Sehingga, konsumen akan tau apa yang mereka beli,” ujar Eliza.
Ia juga menyarankan untuk menghapus Harga Eceran Tertinggi (HET) beras premium, karena konsumen beras premium berasal dari kalangan atas yang tidak masalah apabila harga beras naik.
Menurut dia, menghilangkan segmentasi antara beras premium dan medium bukanlah solusi, karena tetap harus ada segmentasi konsumen agar pemerintah bisa mengintervensi untuk melindungi masyarakat menengah ke bawah.
“Mereka punya kemampuan lebih besar untuk mengganti sumber pangan mereka. pemerintah tidak perlu repot mengurusi HET beras premium,” ujar Eliza.
Tidak hanya itu, ia juga merekomendasikan penyaluran beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) dilakukan secara langsung oleh pemerintah kepada penerima manfaat, bukan lewat distributor dan agen.
“Pemerintah bisa operasi pasar keliling ke setiap titik yang memang terpetakan daerah yang banyak KPM (Keluarga Penerima Manfaat), jadi 'mobile'. Jadi data kemiskinan itu di 'overlay' dengan peta, jadi pas operasi pasar bisa lebih efektif. Manfaatkan juga lewat Koperasi Desa Merah Putih, jadi kebocorannya bisa diminimalisir,” kata Eliza.
Pewarta: Muhammad Heriyanto
Editor: Virna P Setyorini
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.