BRIN: Kawasan aglomerasi perbesar potensi inovasi di masyarakat

3 hours ago 2
Banyak literatur itu mulai mendeteksi bahwa 99,9 persen bisa dibilang inovasi itu terjadi di aglomerasi

Jakarta (ANTARA) - Direktur Pengukuran dan Indikator Riset, Teknologi, dan Inovasi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Khairul Rizal menyebut pembentukan kawasan aglomerasi meningkatkan potensi terjadinya inovasi di masyarakat.

"Banyak literatur itu mulai mendeteksi bahwa 99,9 persen bisa dibilang inovasi itu terjadi di aglomerasi," kata Khairul dalam webinar "Urbanisasi di Indonesia" di Jakarta, Rabu.

Khairul menyebutkan kawasan aglomerasi memberikan kemungkinan adanya saling berbagi fasilitas, pengalaman, hingga tenaga kerja, yang secara tidak langsung dapat bertukar pengetahuan untuk menemukan inovasi baru.

"Ketika terjadi pertukaran pengetahuan, atau yang kita sebut rekombinasi ide-ide pengetahuan yang ada, itu men-generate pengetahuan baru. Ya pengetahuan baru ini inovasi ya," ujarnya.

Baca juga: Kerja sama kawasan aglomerasi jadi kunci pemda atasi polusi udara

Seiring berkembangnya inovasi di wilayah aglomerasi, lanjut Khairul, para pemangku kepentingan terkait juga harus memperhatikan adanya potensi masalah yang ditimbulkan seperti kemacetan, inflasi harga properti, degredasi lingkungan, hingga segregasi sosial.

Ia menyebut berbagai permasalahan tersebut salah satunya bisa diatasi dengan membuat kawasan aglomerasi tambahan di berbagai tempat, agar inovasi bisa tersebar secara merata di daerah lainnya.

"Seperti di Cikarang, kota industri, banyak yang membangun kota-kota berbasis industri, tapi tidak hanya KEK (Kawasan Ekonomi Khusus), kawasan industri, tapi build a city di sekitar Jakarta. Nah itu memang upaya-upaya yang dilakukan, untuk menciptakan kota-kota baru, aglomerasi baru, agar lebih berdaya saing, berkelanjutan, dan berinovasi lebih baik lagi," ucap Khairul Rizal.

Baca juga: Bappenas sebut pembangunan Giant Sea Wall lindungi ekonomi Indonesia

Senada dengan Khairul, Kepala Pusat Riset Kependudukan BRIN Ali Yansyah Abdurrahim menekankan kepadatan penduduk dan tekanan sumber daya merupakan bentuk mal-adaptasi ekologis yang memerlukan intervensi kebijakan berbasis pengetahuan dan tata kelola spasial yang adil.

Menurut Ali, kota merupakan sebuah sistem sosial ekologis, dimana hubungan antara manusia dan lingkungan membentuk jalinan dinamis antara modal sosial, modal alam, dan modal buatan.

"Kota yang berkelanjutan adalah kota yang mampu mempertahankan resiliensi sosial ekologis, yakni kapasitas untuk menyerap guncangan beradaptasi terhadap perubahan dan bertransformasi menuju tata kelola yang lebih adil dan berdayakan," tuturnya.

Oleh karena itu pihaknya menyerukan kebijakan urbanisasi harus dijadikan bukan hanya untuk efisiensi ekonomi, tetapi juga untuk resiliensi sosial ekologis dan kesejahteraan lintas generasi.

Baca juga: KLH dorong aglomerasi sampah di Banten guna dukung solusi modern

Pewarta: Sean Filo Muhamad
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |