Beijing jawab sikap Menlu AS batasi visa diplomat dan jurnalis China

1 day ago 7

Beijing (ANTARA) - Kementerian Luar Negeri China menyebut tindakan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Marco Rubio yang membatasi visa tambahan terhadap para diplomat dan jurnalis Tiongkok di AS terkait masalah Tibet sebagai hal yang mencampuri urusan dalam negeri negara lain.

"Orang asing dipersilakan untuk mengunjungi, bepergian, dan berbisnis di wilayah Xizang China, tetapi mereka harus mematuhi hukum dan peraturan terkait China. Kami menolak pencemaran nama baik yang tidak berdasar soal hak asasi manusia, agama, budaya Xizang, dan menentang campur tangan maupun sabotase pejabat asing atas nama pelaksanaan tugas mereka di Xizang," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Guo Jiakun dalam konferensi pers di Beijing pada Selasa.

Beijing sendiri menyebut Tibet sebagai Daerah Otonomi Xizang.

Menlu AS Marco Rubio mengumumkan dalam laman Kementerian Luar Negeri AS pada Senin (31/3) bahwa ia memberlakukan pembatasan visa tambahan terhadap para pejabat pemerintahan China yang dianggap terlibat dalam perumusan atau pelaksanaan kebijakan terkait akses untuk orang asing di wilayah Tibet, sesuai dengan "Reciprocal Access to Tibet Act" yang berlaku pada 2018.

Alasannya adalah karena Partai Komunis China sejak lama menolak memberikan akses kepada diplomat, jurnalis, dan pengamat internasional asal AS untuk masuk ke Daerah Otonomi Tibet dan wilayah Tibet lain di China, sedangkan diplomat dan jurnalis China disebut menikmati akses yang luas di AS.

Diplomat AS juga tidak dapat memberikan layanan kepada warga negara AS yang bepergian ke Tibet.

"Tindakan AS secara terang-terangan mencampuri urusan Xizang, yang merupakan urusan internal China. Hal ini sangat bertentangan dengan hukum internasional dan norma-norma dasar yang mengatur hubungan internasional," tambah Guo Jiakun.

China, kata Guo Jiakun, sangat menyesalkan dan dengan tegas menolak hal tersebut. Ia juga menegaskan bahwa Xizang adalah wilayah terbuka.

"Kami tidak pernah mengeluarkan peraturan yang membatasi orang asing untuk memasuki Xizang. Setiap tahun, Xizang menerima sejumlah besar wisatawan asing dan orang-orang dari berbagai latar belakang," ungkap Guo Jiakun.

Pada 2024, terdapat 320.000 wisatawan asing mengunjungi Xizang. Masalahnya, ungkap Guo Jiakun, mengingat kondisi geografis dan iklim khusus di wilayah tersebut, pemerintah China telah mengambil sejumlah langkah pengaturan dan perlindungan sesuai dengan hukum dan peraturan mengenai orang asing yang memasuki wilayah tersebut.

"China mendesak AS untuk menghormati komitmennya pada isu-isu yang terkait dengan Xizang, berhenti bersekongkol dan mendukung pasukan 'kemerdekaan Tibet', dan berhenti mencampuri urusan dalam negeri China dengan dalih isu-isu yang terkait dengan Xizang," tegas Guo Jiakun.

Ia pun mengungkapkan China akan mengambil tindakan balasan yang diperlukan terhadap langkah AS yang keliru.

Dalam pernyataan tertulisnya, Rubio mengungkapkan kondisi yang tidak timbal-balik antara AS dan China terkait visa itu, tidak dapat diterima Rubio dan ia pun tidak akan metoleransinya.

"Saya mendesak Partai Komunis China untuk segera mengatasi kurangnya kondisi timbal-balik dan mengizinkan diplomat untuk mendapat akses tanpa batas ke Daerah Otonomi Tibet dan wilayah Tibet lainnya di China," ujar Marco Rubio.

Pernyataan tertulis tersebut tidak menyebutkan nama pejabat China mana pun dan tidak merinci tindakan yang akan AS terapkan.

Tibet atau yang biasa disebut Xizang oleh pemerintah China masuk menjadi wilayah China pada 1950 melalui apa yang digambarkan pemerintah China sebagai "pembebasan damai" dari perbudakan feodal. Namun, kelompok hak asasi manusia internasional dan warga Tibet di luar negeri kerap mengutuk apa yang mereka sebut sebagai pemerintahan represif China di wilayah Tibet.

"Tibet" sendiri mengakar pada nama "Tubo" yaitu rezim yang berkuasa pada abad ke-9 dengan wilayah terfragmentasi dari beberapa suku, pada abad ke-13, Dinasti Yuan menguasai wilayah tersebut.

China juga menyebut Dalai Lama ke-14 mengklaim bahwa kawasan "Tibet" mencakup Daerah Otonomi Xizang, Qinghai, serta sebagian Sichuan, Gansu, Yunnan, dan Xinjiang karena suku Tibet mendiami daerah-daerah tersebut sehingga pemerintah China pun menegaskan tidak pernah ada yang disebut "Tibet Besar" seperti yang diklaim oleh Dalai Lama.

Pemerintah China pada Januari 2024 saat Tinjauan Berkala Universal (Universal Periodic Review) badan HAM PBB juga mendapat kritik pedas dari negara-negara Barat termasuk soal kekhawatiran atas dugaan upaya menghapus identitas budaya dan agama di Tibet, meski negara-negara lain memuji Beijing, termasuk Rusia dan Iran.

Baca juga: Peneliti China temukan spesies jamur baru di dataran tinggi di Tibet

Baca juga: Beijing harap Swiss hormati internal China termasuk Xinjiang dan Tibet

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |