Jenewa (ANTARA) - Badan PBB menyoroti kebutuhan mendesak di Myanmar setelah gempa bumi dahsyat berkekuatan 7,7 magnitudo yang melanda negara itu pada 28 Maret lalu, dengan mengatakan air, obat-obatan, makanan, dan tempat tinggal sangat terbatas.
Kantor Kemanusiaan PBB (OCHA) dalam konferensi pers di Jenewa mengatakan “waktu untuk respons untuk pencarian semakin sempit" karena sudah 72 jam berlalu.
Itu berarti jumlah korban yang terdampak dan korban jiwa diperkirakan akan meningkat, kata Koordinator Kemanusiaan OCHA untuk Myanmar, Marcoluigi Corsi.
"Tempat tinggal, makanan, air bersih, dan perlengkapan rumah tangga penting semakin terbatas. Beberapa orang di daerah terdampak menghabiskan malam di tempat terbuka... karena (tidak ada) listrik dan tidak ada air mengalir," kata Marcoluigi.
Perwakilan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Fernando Thushara di Myanmar mengatakan rumah sakit di negara tersebut kewalahan dengan jumlah pasien dan persediaan medis hampir habis, serta terjadi kekurangan air bersih dan bahan bakar.
Wakil Perwakilan UNICEF, Julia Rees, mengatakan: "Kebutuhan sangat besar dan terus meningkat setiap jam. Waktu untuk respons penyelamatan semakin menipis. Di seluruh daerah terdampak, keluarga-keluarga menghadapi kekurangan akut air bersih, makanan, dan pasokan medis."
Rees mencatat bahwa bahkan sebelum gempa, lebih dari 6,5 juta anak di Myanmar sudah membutuhkan bantuan kemanusiaan, dan satu dari tiga pengungsi di negara itu adalah anak-anak.
"Sekarang, gempa ini telah menambah lapisan krisis baru — mendorong keluarga-keluarga yang sudah rentan melewati batas mereka," katanya.
Ia menggarisbawahi bahwa situasinya mengerikan dan suhu di negara itu sangat panas, sehingga kebutuhan yang paling penting adalah air. Ia juga menyoroti bahwa pipa air dan septic tank telah rusak.
Badan Pengungsi PBB (UNHCR) menyatakan situasi di Myanmar merupakan krisis kemanusiaan tingkat tertinggi dan “kami belum pernah melihat tragedi dan kehancuran seperti ini di Myanmar dalam beberapa tahun terakhir."
Juru bicara UNHCR, Babar Baloch, mengatakan bahwa saat ini badan tersebut sedang mengidentifikasi kebutuhan kritis di wilayah yang paling terdampak, yaitu Mandalay, Magway, dan Sagaing.
"Kebutuhan paling mendesak adalah mengerahkan tempat tinggal dan barang bantuan ke daerah terdampak," kata Baloch.
“Penting juga untuk memantau risiko terkait ranjau, pemisahan keluarga, perlindungan anak, dan kekerasan berbasis gender,” tambahnya.
Badan-badan PBB juga menyoroti pentingnya pendanaan darurat, menyebutnya sebagai "hal yang sangat krusial untuk menyelamatkan nyawa."
Jumlah korban tewas akibat gempa bumi dahsyat berkekuatan 7,7 magnitudo yang melanda Myanmar pada Jumat (28/3) telah mencapai 2.719 orang, kata pemimpin junta Myanmar, Min Aung Hlaing, pada Selasa (1/4).
Selain itu, lebih dari 4.521 orang mengalami luka-luka, dan lebih dari 440 orang masih dinyatakan hilang.
Sebagai respons terhadap bencana ini, Myanmar telah menetapkan tujuh hari berkabung nasional mulai Senin (31/3).
Seiring berjalannya waktu dan masih banyaknya orang yang belum ditemukan, jumlah korban jiwa diperkirakan akan terus bertambah.
Sumber: Anadolu
Baca juga: Pascagempa Myanmar, Pemerintah RI kirim personel USAR
Baca juga: Korban meninggal gempa Myanmar bertambah jadi 2.719 orang
Baca juga: Tim penyelamat setempat berpacu dalam penanggulangan Gempa di Myanmar
Penerjemah: Kuntum Khaira Riswan
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2025