Apa itu sunat perempuan dan bagaimana praktiknya di Indonesia?

4 hours ago 2

Jakarta (ANTARA) - Setiap tanggal 6 Februari, dunia memperingati Hari Anti-Sunat Perempuan Sedunia. Salah satu kontroversi yang masih terus bergulir di kalangan para orang tua adalah sunat pada bayi perempuan.

Di satu sisi, ada kelompok yang meyakini bahwa sunat perempuan merupakan praktik yang tidak manusiawi dan melanggar hak asasi perempuan. Mereka menilai tindakan ini dapat membawa dampak negatif bagi kesehatan, baik secara fisik maupun psikologis, serta berpotensi mempengaruhi kehidupan sosial anak di masa depan.

Sementara itu, ada juga yang menganggap sunat perempuan sebagai bagian dari tradisi turun-temurun atau bahkan tuntunan agama yang harus dijalankan. Perbedaan perspektif ini menyebabkan diskusi mengenai sunat perempuan terus berlanjut tanpa adanya kesepakatan universal.

Baca juga: Komnas Perempuan: Implementasi larangan sunat perempuan masih rendah

Apa itu sunat perempuan?

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 1636/PER/MENKES/XI/2010, sunat perempuan didefinisikan sebagai tindakan menggores kulit bagian depan klitoris tanpa melukai klitoris itu sendiri.

Namun, definisi ini berbeda dengan yang dikemukakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yang menyebut sunat perempuan sebagai bentuk mutilasi alat kelamin perempuan.

WHO mendefinisikan tindakan tersebut sebagai segala bentuk prosedur yang melibatkan pengangkatan sebagian atau seluruh alat kelamin perempuan bagian luar atau tindakan lain yang menyebabkan cedera pada alat kelamin tanpa alasan medis.

Baca juga: Komnas: Perlu sinergi banyak pihak hapus praktik sunat perempuan

Praktik sunat perempuan di Indonesia

Di Indonesia, praktik sunat perempuan dilakukan dengan cara yang beragam. Berdasarkan kajian Komnas Perempuan dan PSKK UGM pada 2017, mayoritas sunat perempuan dilakukan saat anak masih berusia 1–5 bulan (72,4%).

Sementara itu, data Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2021 menunjukkan bahwa 21,3% anak perempuan mengalami sunat berdasarkan kriteria WHO, yang melibatkan pemotongan atau pelukaan, sementara 33,7% lainnya menjalani sunat secara simbolis.

Secara global, jumlah anak perempuan yang berisiko mengalami sunat perempuan masih sangat tinggi. Pada tahun 2024, diperkirakan sekitar 4,4 juta anak perempuan dan lebih dari 12.000 anak perempuan setiap hari terancam mengalami praktik ini di berbagai belahan dunia.

Meskipun masih ada masyarakat yang mempertahankan praktik ini sebagai bagian dari tradisi, berbagai organisasi kesehatan internasional menegaskan bahwa sunat perempuan berisiko menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan dan kesejahteraan anak perempuan.

Oleh karena itu, perdebatan mengenai sunat perempuan bukan hanya tentang budaya atau kepercayaan, tetapi juga menyangkut hak, kesehatan, serta perlindungan terhadap perempuan dan anak.

Baca juga: PP Aisyiyah pandang sunat perempuan banyak mudharat

Baca juga: Aisyiyah: Tasyakuran haid pertama untuk imbangi kuatnya budaya P2GP

Pewarta: Allisa Luthfia
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |