Anggota DPR desak penguatan sekolah ramah anak usai ledakan SMAN 72

1 hour ago 2

Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi VIII DPR RI Selly Andriany Gantina mendesak pemerintah serta pihak sekolah agar melakukan penguatan sekolah ramah anak sebagai wujud evaluasi atas kejadian ledakan di SMA Negeri (SMAN) 72 Jakarta pada Jumat (7/11).

“Ramah anak bukan sekadar slogan di dinding sekolah. Itu harus nyata dalam sistem, ada kanal aduan yang aman, ada pendidikan anti-bullying, serta ruang dialog antara anak, guru, dan orang tua,” ujar Selly dikutip di Jakarta, Minggu.

Diketahui, ledakan terjadi di SMAN 72 Jakarta saat kegiatan keagamaan sedang berlangsung di sekolah. Peristiwa itu menyebabkan 54 orang terluka, sebagian besar siswa kini masih menjalani perawatan di sejumlah rumah sakit di Jakarta.

Diketahui pula, pelaku pengeboman diduga merupakan siswa berusia 17 tahun yang mengalami tekanan sosial dan perundungan (bullying) di lingkungan sekolah. Menanggapi itu, Selly pun menyebut tragedi itu sebagai peringatan serius bahwa banyak sekolah di Indonesia belum sepenuhnya menjadi ruang aman bagi anak.

Ia juga menyoroti pandangan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang menilai pelaku kurang mendapatkan perhatian dari orang tua dan sekolah. Selly lalu menegaskan bahwa masalah tersebut harus dilihat dalam konteks tanggung jawab sistemik.

“Masalahnya bukan hanya di rumah atau di sekolah, melainkan juga di ekosistem perlindungan anak yang belum bekerja optimal. Anak kehilangan ruang aman untuk bicara, kehilangan yang mau mendengar,” ucapnya.

Mantan Wakil Bupati Cirebon itu menyampaikan bahwa saat ini banyak anak yang melampiaskan rasa terasing dan kegelisahan ke ruang digital, di mana konten ekstrem bisa menjerumuskan.

Baca juga: Menteri PPPA: Ada penyesuaian metode belajar usai insiden SMAN 72

“Jika sekolah tidak ramah dan rumah tidak menjadi tempat curhat, maka media sosial mengambil alih fungsi pendidikan emosional anak. Itu yang berbahaya,” kata dia.

Sebagai anggota DPR RI yang membidangi isu sosial, keagamaan, dan perlindungan anak, Selly menekankan penanganan pascatragedi tidak cukup hanya secara medis. Ia menilai trauma akibat peristiwa tersebut bersifat komunal dan berdampak pada seluruh lingkungan sekolah.

“Anak yang tidak terluka pun bisa trauma. Guru, staf, hingga orang tua juga terdampak secara psikis. Maka, pemulihan psikotraumatik harus dilakukan menyeluruh, bukan selektif,” ujarnya.

Selly juga menilai, kejadian itu bukan sekadar bencana fisik, melainkan juga meninggalkan dampak psikologis luas bagi seluruh ekosistem sekolah, mulai dari siswa, guru, orang tua, hingga tenaga pendukung.

Oleh karena itu, dia pun mendorong Kementerian PPPA, Dinas Pendidikan, dan KPAI untuk segera membentuk Tim Respons Krisis Sekolah yang melibatkan psikolog, guru BK, serta perwakilan orang tua. Tim tersebut diharapkan mampu melakukan asesmen psikologis dan menyusun program pemulihan kolektif pascatrauma di lingkungan sekolah.

Ia juga menekankan pentingnya literasi digital dan komunikasi empatik bagi orang tua agar mampu mengenali tanda-tanda anak mengalami perasaan tertekan.

Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |