Aisyiyah: Tasyakuran haid pertama untuk imbangi kuatnya budaya P2GP

3 hours ago 2

Jakarta (ANTARA) - Pimpinan Pusat Aisyiyah memandang untuk mengimbangi kuatnya tradisi pesta khitan perempuan atau Pelukaan dan Pemotongan Genital Perempuan (P2GP) perlu diinisiasi tradisi baru, misalnya tasyakuran di saat anak perempuan haid pertama.

"Momen haid pertama seorang anak perempuan adalah simbol mengawali kehidupan di masa balig, memasuki dunia baru yang menempatkan perempuan sebagai hamba Allah yang memiliki tanggung jawab menunaikan kewajiban keagamaan dan sosial," ujar Ketua Majelis Tabligh dan Ketarjihan PP Aisyiyah Evi Sovia Inayati saat dihubungi dari Jakarta, Jumat.

Evi Sovia Inayati menyebut tradisi khitan dan pesta yang mengiringinya masih kuat di beberapa daerah.

Kuatnya tradisi ini, menurut Evi, membutuhkan kerja berbagai unsur masyarakat yang peduli atas isu untuk melakukan strategi perubahan tradisi sunat perempuan dengan upaya mencerdaskan masyarakat.

"Kita bersama perlu melakukan syiar pemahaman tentang Islam berkemajuan yang tidak menganjurkan khitan perempuan, dengan pendekatan bayani, burhai, dan irfani melalui tabligh, ceramah, dan sosialisasi secara intensif dan kontinyu," ujar Evi.

Baca juga: PP Aisyiyah pandang sunat perempuan banyak mudharat

Sebelumnya, Sekretaris Umum PP Aisyiyah Tri Hastuti Nur Rochimah memandang sunat perempuan lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaat sehingga kembali menegaskan bahwa hal tersebut sangat tidak dianjurkan.

"Sunat perempuan adalah tindakan yang merugikan bagi perempuan, bahkan hal ini sudah diakui oleh dunia internasional. Akan tetapi sayangnya praktik ini masih banyak terjadi di Indonesia," ujar Tri Hastuti.

Tri mengatakan sunat perempuan di Indonesia terjadi karena faktor budaya dan banyaknya pemahaman agama yang keliru yang dipercayai oleh masyarakat.

Oleh karena itu menurut Tri, Aisyiyah melakukan berbagai upaya untuk mengedukasi masyarakat untuk menghentikan praktik sunat perempuan.

Salah satunya adalah dengan menyebarkan pandangan Islam yang tidak menganjurkan praktik sunat perempuan di kalangan tokoh agama dan tokoh masyarakat.

"Tokoh agama dan tokoh masyarakat menjadi salah satu kunci untuk menghentikan praktik ini, karena mereka sangat didengar pendapatnya di kalangan masyarakat," kata Tri.

Baca juga: Wamen PPPA: Ruang Bersama Indonesia, ruang edukasi berani bersuara

Pewarta: Asep Firmansyah
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |