Wamen ESDM sebut PLTN jadi pilar transisi energi Indonesia

23 hours ago 1
PLTN sebagai salah satu opsi strategis dalam peta transisi energi nasional dalam mencapai net zero emission 2060. PLTN tidak lagi dianggap sebagai opsi terakhir, melainkan sebagai bagian penting dari perencanaan energi nasional

Jakarta (ANTARA) - Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot menyebutkan pemerintah mulai mempertimbangkan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) menjadi salah satu pilar baru dalam upaya transisi energi menuju target nol emisi karbon atau net zero emission (NZE) pada 2060.

Menurut Yuliot, dalam keterangannya di Jakarta, Selasa, setelah melalui kajian panjang, PLTN kini diposisikan sebagai opsi strategis untuk memperkuat ketahanan energi nasional sekaligus menekan emisi karbon.

Ia mengatakan arah kebijakan tersebut sejalan dengan Astacita butir kedua, yang menekankan pentingnya memperkuat pertahanan dan keamanan nasional, sekaligus mendorong kemandirian bangsa melalui swasembada pangan, energi, air, serta pengembangan ekonomi hijau dan biru.

"PLTN sebagai salah satu opsi strategis dalam peta transisi energi nasional dalam mencapai net zero emission 2060. PLTN tidak lagi dianggap sebagai opsi terakhir, melainkan sebagai bagian penting dari perencanaan energi nasional," ujar Yuliot saat menjadi pembicara kunci pada acara Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) Executive Meeting dan Penganugerahan Bapeten Award 2025 di Jakarta, Senin (27/10/2025).

Menurut Yuliot, Indonesia memiliki sejarah panjang dalam pengembangan teknologi nuklir.

Sejak 1960-an, pemerintah telah membangun tiga reaktor riset, yakni reaktor Triga di Bandung, Jabar, berkapasitas 2 MW, reaktor Kartini di Yogyakarta, DIY, berkapasitas 100 kW, dan reaktor Serpong, Banten, berkapasitas 30 MW.

Ia menambahkan pengembangan energi nuklir di Indonesia memiliki dasar hukum yang kuat, mulai dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1967 tentang Ketenaganukliran, arah pembangunan PLTN dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, hingga Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional.

"Dalam PP Nomor 45 Tahun 2025, PLTN tidak lagi dianggap sebagai opsi terakhir, melainkan sebagai bagian penting dari perencanaan energi nasional," ujarnya.

Seluruh dokumen itu, lanjutnya, menegaskan komitmen Indonesia untuk mengoperasikan PLTN pertama pada 2032 dan mencapai kapasitas 44 GW pada 2060.

Dari total tersebut, sekitar 35 GW untuk kebutuhan listrik umum, sedangkan 9 GW digunakan untuk produksi hidrogen nasional.

Sesuai peraturan tersebut, menurut dia, porsi energi nuklir dalam bauran energi nasional diproyeksikan meningkat menjadi 5 persen pada 2030 dan mencapai 11 persen pada 2060.

Meski memiliki prospek besar, Yuliot mengakui bahwa pengembangan PLTN menghadapi sejumlah tantangan, terutama dari sisi pendanaan dan waktu konstruksi.

Ia menyebutkan biaya pembangunan satu unit PLTN dapat mencapai 3,8 miliar dolar AS, dengan waktu pembangunan selama empat hingga lima tahun.

Selain itu, pemerintah juga memperhatikan kekhawatiran masyarakat terkait potensi risiko akibat bencana alam.

Pemerintah, kata dia, akan memastikan aspek keselamatan melalui mitigasi dan pengawasan yang ketat, serta memperkuat kerja sama internasional bersama Bapeten sebagai lembaga pengawas utama dalam pengoperasian tenaga nuklir.

Baca juga: Wamen ESDM nilai nuklir jadi opsi strategis transisi energi

Baca juga: Kemdiktisaintek perkuat SDM nuklir menuju Net Zero Emission 2060

Baca juga: Bapeten lakukan kajian lingkungan rencana pembangunan PLTN Bengkayang

Pewarta: Kelik Dewanto
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |