Jakarta (ANTARA) - Langit Banda Neira pagi itu memancarkan cahaya lembut, menyambut kedatangan kapal Pelni yang baru bersandar di dermaga. Para wisatawan turun perlahan membawa senyum dan semangat menjelajahi pulau bersejarah.
Banda Neira, salah satu pulau kecil di gugusan Kepulauan Banda, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, dikenal sebagai mutiara di jantung Laut Banda.
Di sinilah sejarah panjang perdagangan rempah-rempah dunia pernah berpusat, ketika pala menjadi harta paling berharga yang membuat bangsa-bangsa asing berlayar menembus samudra.
Pulau ini menyimpan jejak kolonial Belanda yang masih lestari hingga kini, dari Benteng Belgica yang berdiri megah di atas bukit, hingga rumah pengasingan tokoh nasional Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir. Di setiap sudut jalannya, aroma masa lalu berpadu dengan keramahan penduduk yang hidup damai di tepi laut biru jernih.
Tak sabar menikmati keindahan itu, rombongan wisatawan bergegas menyusuri jalan kecil sejauh satu kilometer menuju penginapan.
Mereka tampak lelah setelah menempuh penerbangan Jakarta-Ambon sekitar lima jam, dan pelayaran selama 14 jam dari Pelabuhan Ambon ke Banda Neira. Namun, wajah-wajah mereka tetap memancarkan kebahagiaan, bersiap mengenal pesona Banda Neira yang berbalut kisah kolonial.
Setelah menaruh barang dan beristirahat sekitar dua jam, mereka berkumpul di halaman penginapan. Suasana pagi terasa hangat yang menandai awal liburan di ujung timur Indonesia.
Namun di antara mereka, ada satu wajah yang perlahan kehilangan warna. Muhammad Aqshal, pria 27 tahun asal Palu, Sulawesi Tengah, tiba-tiba menerima pesan duka: ibunya berpulang di kampung halaman yang jauh di seberang laut.
Ponsel di tangannya bergetar pelan, seolah membawa beban tak tertahankan. Nafasnya berat, matanya memandang kosong ke laut Banda yang tenang, menyadari ia tak bisa pulang secepat doa yang melesat.
Muhammad Aqshal (27), menatap kosong ke laut Banda dari dalam kapal Pelni KM Sangiang usai berlayar dari Banda Neira menuju Ambon, Maluku, Jumat (24/10/2025). ANTARA/HariantoAqshal datang ke Banda Neira bersama rekan-rekannya untuk urusan pekerjaan, sekaligus melepas penat dari hiruk pikuk ibu kota. Ia berharap menemukan ketenangan di antara gugusan pulau, jejak sejarah, dan keindahan bawah laut. Namun ketenangan itu kini berubah menjadi pilu yang tak terbayangkan.
Transportasi menjadi ujian pertama dalam duka itu. Tak ada pesawat hari itu, sebab penerbangan menuju Ambon hanya dua kali seminggu, sementara kapal kecil tak mudah menembus jarak jauh dengan biaya mahal.
Kapal Pelni berikutnya akan tiba tiga hari lagi. Tiga hari menunggu dalam sesak hati, di antara riuh wisatawan lain yang tak tahu badai sedang berputar dalam dadanya.
Ambon menjadi harapan Aqshal untuk terbang ke Palu,. Namun, tak ada armada yang bisa mengantarkannya ke Ibu Kota Provinsi Maluku itu.
Bagi Aqshal, waktu berjalan begitu lambat. Siang terasa panjang, malam semakin sunyi. Ia hanya duduk di sudut kamar penginapan, merenungi jarak yang kini menjadi pemisah antara dirinya dan sang ibu.
Dia menangis dalam diam, takut suaranya mengganggu tawa orang lain. Namun di dadanya, perih kehilangan terus berputar seperti gelombang yang tak pernah berhenti di lautan.
Setiap tiupan angin membawa kenangan masa kecil saat ia dipeluk ibu di beranda rumah. Semua itu kini tinggal bayangan di sudut mata yang basah di Pulau Banda Neira.
Bukan pilihan, hanya keterpaksaan. Di pulau indah ini, kapal adalah satu-satunya harapan. Aqshal menunggu dalam sabar, diapit sunyi dan waktu yang seolah tak ingin beranjak cepat.
Rekan-rekan Aqshal memahami kesedihannya. Mereka tak banyak bertanya, hanya menepuk bahunya pelan, memberi semangat dan doa agar ibunda tercinta diterima di sisi Sang Khalik.
Beruntung, sinyal internet masih menjangkau pulau itu. Lewat layar kecil, Aqshal menyaksikan pemakaman ibunya. Air mata jatuh tanpa henti membasahi pipi bahkan jatuh di tanah Banda Neira, ditemani suara doa keluarga yang bergema di tanah kelahiran.
Ia tak bisa menyentuh wajah terakhir ibunya, tak bisa mengantar ke peristirahatan terakhir, tak bisa berpamitan untuk selamanya. Yang tersisa hanya doa beriring air mata.
Baca juga: Pelni sesuaikan jadwal kapal ke Banda Neira dukung sektor pariwisata
Editor: Dadan Ramdani
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































