Saldi Isra sebut "no viral, no justice" tak berlaku untuk MK

2 hours ago 1

Yogyakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Saldi Isra menegaskan bahwa ungkapan "no viral, no justice", yang berarti jika tidak viral maka tidak ada keadilan, tidak berlaku dalam pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi.

Saldi mengatakan konsep keadilan yang bergantung pada viralitas mungkin relevan untuk kasus-kasus konkret, namun tidak bisa diterapkan pada kasus abstrak yang menjadi kewenangan MK.

"Kalau kata orang-orang, 'no viral no justice'. Jadi kalau tidak diviralkan dulu, tidak adil. Nah, dalam konteks kasus yang abstrak, itu tidak bisa," ujar Saldi dalam diskusi konstitusi di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Bantul, DI Yogyakarta, Jumat.

Ia mencontohkan sejumlah kasus yang pernah menyita perhatian publik, seperti kasus Nenek Minah serta kasus seorang guru di Sulawesi yang dipecat karena meminta bantuan orang tua murid untuk menggaji guru honorer.

Menurut dia, kasus konkret semacam itu memang memiliki keterkaitan kuat dengan opini publik, sementara pengujian norma di MK tidak bersandar pada persepsi viral.

"Seberapa jauh opini publik memengaruhi hakim, saya belum menemukan buktinya," ujar dia.

Saldi mengakui isu intervensi terhadap hakim tidak bisa dipandang sebagai sesuatu yang sama sekali tidak mungkin. Dengan kewenangan besar yang melekat pada MK, ia menilai wajar bila ada pihak-pihak yang mencoba memengaruhi putusan.

"Pendapat bahwa Mahkamah Konstitusi tidak boleh diintervensi itu terlalu ideal. Wajar saja orang berupaya mengintervensi atau memengaruhi MK, dengan kewenangan sebesar itu," kata dia.

Karena itu, menurutnya, tantangan terbesar justru terletak pada kemampuan menemukan hakim yang memiliki ketahanan integritas sehingga tidak goyah oleh tekanan politik maupun sosial.

"Yang harus kita siapkan adalah bagaimana menemukan hakim yang bisa tahan terhadap intervensi itu," ujarnya.

Selain integritas personal hakim, Saldi menekankan pentingnya proses seleksi sebagai pintu masuk terpenting untuk menghasilkan hakim yang independen.

Ia pun membandingkan Indonesia dengan Amerika Serikat (AS), yang menurutnya justru lebih sarat kepentingan politik dalam pengisian jabatan di Mahkamah Agung (MA).

Ia menyinggung kasus pelanggaran etik oleh Hakim Clarence Thomas dan fakta bahwa Mahkamah Agung AS baru mengesahkan court of ethics pada 2023 tanpa diikuti mekanisme penegakan.

Sebaliknya, ia menegaskan bahwa MK RI telah memiliki mekanisme etik yang berjalan dan dapat menindak pelanggaran.

"Kita sudah pernah memberhentikan Pak Akil Mochtar, pernah juga memberhentikan Pak Patrialis Akbar karena melanggar etik. Artinya, sistem bekerja," ujar dia.

Baca juga: Menjadikan putusan MK titik balik reformasi Polri dan birokrasi sipil

Baca juga: MK nyatakan jangka waktu hak tanah IKN dua siklus inkonstitusional

Baca juga: MK tolak permohonan masa jabatan Kapolri disamakan presiden-kabinet

Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |