Saatnya pengembangan AI di Indonesia fokus pada komersialisasi

7 hours ago 6
Sudah saatnya Indonesia menyadari bahwa AI bukan sekadar urusan teknologi, tetapi juga geopolitik, kedaulatan data, dan daya saing ekonomi.

Jakarta (ANTARA) - Indonesia sedang berada di persimpangan penting dalam menentukan arah masa depan teknologinya.

Di tengah geliat global yang begitu cepat dalam mengembangkan kecerdasan artifisial (AI), pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) tengah menyusun peta jalan AI nasional yang dijadwalkan rampung dalam tiga bulan ke depan.

Inisiatif ini layak diapresiasi sebagai upaya membangun fondasi strategis. Namun, ada kekhawatiran yang tidak bisa diabaikan yakni jangan sampai peta jalan ini hanya menjadi dokumen normatif yang sibuk mengatur soal literasi, regulasi, dan etika, tetapi melupakan jantung utama yang akan menggerakkan teknologi ini secara riil yakni industrialisasi dan komersialisasi.

Sebab tanpa fokus pada bagaimana membangun ekosistem permintaan dan penawaran (demand-supply ecosystem) yang konkret, peta jalan AI hanya akan jadi peta yang tak pernah menuntun ke tujuan.

Aspek-aspek yang mengatur soal literasi, regulasi, dan etika memang penting, tetapi jika tanpa menyentuh sisi industrialisasi dan komersialisasi secara konkret, maka peta jalan ini berisiko menjadi sekadar dokumen elitis yang tidak menjawab kebutuhan lapangan.

Di tengah euforia terhadap kecanggihan AI global, justru penting untuk merumuskan kebijakan yang menumbuhkan industri AI lokal bukan hanya untuk mencetak talenta yang kemudian direkrut oleh raksasa teknologi dunia.

Situasi ironis ini terlihat jelas dalam realitas sehari-hari. Indonesia selama ini dikenal memiliki talenta AI yang diperhitungkan secara global. Anak-anak muda Indonesia telah bergabung dengan perusahaan sekelas Google, Meta, dan TikTok.

Namun, di tanah air sendiri, produk AI lokal seolah masih tersisih. Akar masalahnya sebenarnya bukan pada kekurangan kreativitas atau keahlian teknis, melainkan pada masih absennya dukungan sistemik terhadap tumbuhnya industri AI dalam negeri.

Minimnya akses terhadap data nasional, kurangnya pendanaan, dan tidak adanya insentif adopsi dari lembaga lokal menjadi hambatan utama.

Baca juga: Kemkomdigi targetkan peta jalan penggunaan AI rampung tiga bulan

Ketika sebuah solusi AI lokal tak bisa digunakan karena terbentur data BPJS atau pertanian yang tidak terbuka, maka bagaimana mungkin bisa berbicara tentang transformasi digital yang inklusif?

Ketua Komite Tetap AI Asosiasi Pengusaha Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Nasional (APTIKNAS) Karim Taslim menyuarakan satu pendekatan yang lebih strategis dengan menambahkan satu pilar baru dalam peta jalan AI nasional, yaitu industrialisasi dan komersialisasi.

Usulan ini lebih dari sekadar koreksi kebijakan melainkan ini adalah ajakan untuk mengubah paradigma pembangunan AI di Indonesia.

Salah satu rekomendasi paling konkret adalah peran negara sebagai “pembeli pertama” dari produk AI lokal.

Ketika negara memberikan ruang pada solusi lokal untuk tampil di proyek-proyek strategis nasional, hal ini menciptakan pasar domestik yang sehat dan mendorong keberlanjutan usaha para pengembang dalam negeri.

APTIKNAS telah menunjukkan bahwa pendekatan ini bukan sekadar wacana. Sejak 2020, mereka menggulirkan program AI Incubation Camp dan Indonesia AI Innovation Challenge dengan dukungan Kominfo dan Kemenparekraf.

Beberapa startup yang lahir dari inisiatif ini telah mencapai tingkat kematangan teknologi yang layak bersaing di tingkat global. Sebut saja LUDESC yang mengembangkan sistem screening penyakit paru berbasis IoT, AeroBuddy dengan analitik AI untuk industri penerbangan, atau MersifLab yang menghadirkan laboratorium virtual berbasis VR.

Namun, potensi luar biasa ini tak akan menjadi lompatan besar tanpa keberpihakan serius dari negara terhadap industrialisasi AI.


Ekosistem industri

Dukungan ini sebaiknya tidak hanya dalam bentuk inkubasi dan pelatihan teknis semata. Ada kebutuhan mendesak untuk melahirkan ekosistem pembinaan yang melatih para pendiri startup

AI dari sisi non-teknis mencakup validasi pasar, strategi bisnis, kemampuan manajerial, kepemimpinan, hingga pengelolaan keuangan.

Baca juga: Indonesia segera susun "roadmap" pengembangan kecerdasan buatan

Banyak pendiri startup AI di Indonesia sangat kuat dalam hal teknologi, tetapi lemah dalam membangun organisasi yang berkelanjutan.

Tak sedikit yang menjadi single founder, bekerja sendiri tanpa tim, dan akhirnya gagal bukan karena teknologinya buruk, melainkan karena tak memiliki keterampilan menjual atau membangun skala bisnis.

Hal ini mengingatkan pada kisah para pendiri Google, yang menyadari keterbatasannya dan menyerahkan kursi CEO kepada sosok yang lebih berpengalaman dalam mengelola bisnis skala besar.

Salah satu elemen penting dalam peta jalan yang diusulkan APTIKNAS adalah akses pasar dan perlindungan terhadap produk dalam negeri.

Diplomasi digital perlu diarahkan untuk membuka peluang ekspor AI Indonesia, terutama ke negara-negara ASEAN dan Afrika.

Sementara di dalam negeri, perlindungan terhadap produk lokal melalui pendekatan semacam Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) untuk AI adalah sebuah keniscayaan.

Ini bukan berarti menutup diri dari teknologi global, melainkan memastikan bahwa Indonesia bukan menjadi sekadar konsumen atau penyedia tenaga kerja murah bagi industri AI asing.

Tiongkok adalah contoh konkret bagaimana negara dapat memainkan peran aktif dalam membangun industri AI yang kuat.

Pemerintah mereka memberikan dukungan luar biasa kepada startup lokal seperti DEEPSEEK hingga mampu menembus pasar global.

Indonesia bisa belajar dari model ini tanpa harus menyalin secara mentah. Indonesia memiliki ekosistem unik, namun prinsip dasarnya sama bahwa negara harus hadir sebagai enabler utama dalam industrialisasi AI.

Tantangan besar di depan mata bukanlah kurangnya talenta, melainkan kurangnya strategi. Jika peta jalan AI nasional tidak menyentuh aspek industrialisasi dan komersialisasi, maka Indonesia hanya akan menghasilkan lulusan dan inovator hebat yang kemudian “diserap” oleh ekosistem luar negeri.

Ini adalah bentuk baru dari brain drain yang lebih canggih, Indonesia mencetak talenta berbiaya besar, lalu menyerahkannya begitu saja kepada pasar global tanpa pernah merasakan nilai tambahnya di dalam negeri.

Sudah saatnya Indonesia menyadari bahwa AI bukan sekadar urusan teknologi, tetapi juga geopolitik, kedaulatan data, dan daya saing ekonomi.

Diperlukan pandangan jernih dan realistis tentang masa depan AI Indonesia. Dan negara harus hadir bukan hanya sebagai regulator atau penyuluh literasi, tetapi sebagai mitra strategis dalam membangun industri AI nasional yang tangguh, berdaulat, dan mampu menyejahterakan bangsanya sendiri.

Baca juga: BRIN dukung ASEAN hasilkan peta jalan pengembangan AI

Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |