Jakarta (ANTARA) - Research & Development for Advancement (Redea) Institute mengajak kalangan orang tua untuk memahami peluang dan risiko kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) bagi pendidikan anak masa kini.
Pendiri dan CEO Redea Institute Antarina S.F. Amir menyatakan di tengah percepatan perkembangan teknologi, kecerdasan buatan (AI) telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, mulai dari navigasi di ponsel hingga sistem rekomendasi di media sosial.
Namun, lanjut dia dalam keterangannya di Jakarta, Jumat, sebagaimana setiap inovasi besar dalam sejarah, AI membawa potensi luar biasa sekaligus tantangan serius, dari kemalasan berpikir hingga bias algoritmik, dari kemudahan belajar hingga disinformasi.
Di sinilah pendidikan memegang peran krusial, bukan untuk melarang teknologi, tetapi membekali anak-anak dengan kemampuan untuk menguasai keterampilan hidup esensial termasuk berpikir kritis, bertanggung jawab, dan tetap berpusat pada nilai kemanusiaan.
Baca juga: Redea bahas pendidikan di era digital di konferensi internasional
"Kini saatnya kita memikirkan kembali peran kecerdasan buatan dalam pendidikan, dan bagaimana kita dapat mempersiapkan anak-anak sebagai pemikir digital yang siap menghadapi tantangan masa depan," ujarnya dalam Parent Workshop bertajuk "Membesarkan Pemikir Digital: Membantu Anak Berkembang di Era AI".
Oleh karena itu, menurut dia, literasi AI merupakan bagian penting dari tujuan utama pembelajaran, yakni membentuk generasi pemimpin yang memiliki regulasi diri kuat dan pandangan ke depan bagi masyarakat.
Literasi AI didefinisikan sebagai kemampuan untuk memahami, mengevaluasi, dan menggunakan AI secara bertanggung jawab agar alat seperti ChatGPT dan Gemini digunakan untuk kebaikan pembelajaran.
Pembekalan literasi AI sejak dini, tambahnya bukan lagi pilihan, tetapi kebutuhan untuk memastikan bahwa anak-anak kita bukan hanya pengguna teknologi, melainkan pemikir digital yang mampu menilai, mencipta, dan menavigasi dunia dengan kebijaksanaan.
Baca juga: Pentingnya menerapkan pembelajaran konstruktif pada anak
Sementara itu pakar teknologi pendidikan dari Amerika Serikat Ken Shelton menegaskan bahwa anak-anak saat ini sedang tumbuh di masa ketika AI sudah menjadi hal biasa, mulai dari chatbot hingga sistem personalisasi digital, dan generasi mereka akan hidup berdampingan dengan teknologi yang jauh lebih maju dibandingkan hari ini.
Ia mengajak orang tua dan pendidik untuk melihat pendidikan AI bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai literasi baru yang sama pentingnya dengan baca-tulis-hitung.
"AI tidak seharusnya menjadi penghalang belajar, justru hadir sebagai sarana yang menuntun siswa merumuskan pertanyaan yang tepat dan menggali pengetahuan lebih dalam," katanya.
Seiring dunia bergerak menuju masa depan yang tak terpisahkan dari AI, tambahnya, sekolah dan keluarga perlu membangun kerja sama yang kuat.
"AI bukan otoritas kebenaran. Kitalah yang memegang otoritas itu. Tugas kita adalah bertanya, memverifikasi, dan mengajarkan anak melakukan hal yang sama,” tegas Shelton
Salah satu tugas institusi pendidikan, menurut dia adalah membentuk pola pikir yang membantu siswa mampu mengajukan pertanyaan yang tepat dan memverifikasi informasi, sehingga mereka dapat membedakan fakta dari hoaks di tengah arus informasi digital yang masif.
Baca juga: Pakar: Kampus terkemuka tak sekadar cari siswa yang cerdas
Baca juga: Redea Institute ajak orang tua jaga kesehatan mental anak dari rumah
Pewarta: Subagyo
Editor: Mahmudah
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































