Jakarta (ANTARA) - Ketua DPR RI Puan Maharani mengemukakan penanganan kasus kekerasan seksual di Indonesia tidak cukup hanya dengan berfokus pada penegakan hukum usai kejahatan terjadi, namun harus dibarengi dengan upaya pencegahan yang konkret.
"Kasus kekerasan seksual di Indonesia yang sudah seperti gunung es perlu penanganan komprehensif yang terstruktur, termasuk bagaimana negara membangun sistem yang mampu mencegah kejahatan seksual terjadi sejak awal," kata Puan Maharani di Jakarta, Rabu.
Puan mengatakan kasus kekerasan seksual yang terus bermunculan menunjukkan adanya sistem yang kurang, utamanya dalam langkah-langkah pencegahan.
Menurut dia, Indonesia memerlukan sistem peringatan real time untuk mengidentifikasi kemungkinan terjadinya kekerasan seksual sehingga korban kasus kejahatan seksual dapat diminimalisasi.
"Jadi, bagaimana pendekatannya adalah bukan lagi menyelesaikan kasus kekerasan seksual, tetapi bagaimana negara memiliki sebuah sarana yang dapat mencegah tindak-tindak kekerasan seksual," ujarnya.
Baca juga: Polda Jateng ungkap 31 korban kejahatan predator seks asal Jepara
Menurut mantan Menko PMK itu, pemerintah melalui kementerian terkait dapat membangun sistem pengamanan dan peringatan dini, khususnya yang diperuntukkan anak-anak dan perempuan yang sering menjadi korban kekerasan seksual.
Sistem ini dapat ditempatkan di ruang-ruang publik serta lingkungan sosial, terutama yang rawan menjadi tempat perburuan predator seksual.
"Kita bisa mengadopsi dari negara-negara sahabat. Di sejumlah negara maju, sistem perlindungan anak telah dilengkapi dengan alarm sosial, pelacakan digital, hingga kontrol ketat terhadap konten dan aktivitas daring yang menyasar anak-anak. Indonesia harus segera menyusul," tuturnya.
Puan menambahkan sarana sistem peringatan seperti itu dapat mengurangi kasus kekerasan seksual sedikit demi sedikit. Hal ini penting mengingat kasus kekerasan seksual terus bermunculan setiap harinya.
Seperti yang baru-baru terjadi, seorang pemuda berusia 21 tahun di Jepara, Jawa Tengah, ditangkap pihak kepolisian karena melakukan kasus kekerasan seksual berbasis online.
Pelaku diduga merekam aktivitas seksual korban yang masih remaja dan memeras korban dengan ancaman akan menyebarkan video mereka. Korbannya mencapai puluhan orang anak baru gede (ABG) dengan rentan usia 12, 14, sampai 18 tahun.
Baca juga: KSKS NTB sebut ada 22 korban pelecehan ustadz ponpes di Lombok Barat
Tak hanya itu, seorang oknum ustadz atau pendakwah muda di Kota Medan, Sumatera Utara, berinisial AHA (34) diduga juga melakukan kekerasan seksual terhadap mahasiswi berinisial N (18). Atas dugaan itu, AHA dilaporkan ke Polda Sumut.
Puan pun menyampaikan keprihatinan atas peristiwa yang terjadi di Jepara dan Medan, serta berharap para pelaku mendapat sanksi pidana tegas.
"Pelaku harus mendapatkan ganjaran atas perbuatannya sesuai hukum yang berlaku. Dan saya mengingatkan para pemangku kepentingan untuk memastikan perlindungan bagi para korban," ujar Puan menegaskan.
Puan mengatakan saat ini Indonesia sedang dalam kondisi darurat kekerasan seksual yang banyak menyasar anak-anak perempuan.
"Maka harus ada terobosan-terobosan yang dilakukan negara, termasuk melalui langkah-langkah menciptakan sistem peringatan terhadap ancaman tindak kekerasan seksual," ujar Puan.
Baca juga: Hari Kartini, Puan ajak perempuan berani bersuara lawan kekerasan
"Sama seperti bencana alam, kita memiliki early warning system. Metode seperti ini yang juga harus diciptakan untuk mengurangi dampak buruk yang berpotensi terjadi. Caranya seperti apa dan bagaimana, ini harus menjadi kerja bersama para stakeholder terkait," tambahnya.
Selain itu, Puan juga mendorong ruang publik yang ramah terhadap anak. Ia menegaskan saat ini perlu ada kebijakan yang menjamin keamanan dan kenyamanan anak melalui integrasi teknologi, keterlibatan aparat lokal, dan pengawasan komunitas.
"Ruang publik harus ramah terhadap anak dan perempuan. Pemerintah harus membangun iklim yang membuat anak-anak dan perempuan merasa aman saat berada di luar rumah atau saat sedang mobilitas,” ujarnya.
Terakhir, Puan mendorong keterlibatan aktif masyarakat, sekolah, dan tokoh-tokoh lokal dalam menjaga lingkungan yang aman bagi anak-anak dan remaja.
"Kolaborasi lintas sektor mulai dari pemerintah pusat dan daerah, aparat hukum, lembaga pendidikan, tokoh masyarakat, hingga keluarga dalam menciptakan ekosistem perlindungan anak sangat diperlukan," tutupnya.
Baca juga: Menteri PPPA: Ada relasi kuasa menyimpang dalam kekerasan seksual UGM
Baca juga: TII: Penyelesaian kasus kekerasan seksual harus dikawal untuk cegah normalisasi
Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
Editor: Didik Kusbiantoro
Copyright © ANTARA 2025