"Perang Kota" bukan sekadar film pertempuran bersenjata

9 hours ago 7

Jakarta (ANTARA) - Sutradara Mouly Surya, yang dikenal lewat karya visualnya "Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak", kembali menghadirkan film layar lebar terbarunya, "Perang Kota".

Judul film yang naskahnya juga ditulis oleh Mouly Surya ini bukan sekadar menandakan adanya pertempuran bersenjata di tengah kota, tapi mengarahkan fokus pada pertarungan ideologi dan bahasa di tengah hiruk pikuk Jakarta pasca kemerdekaan, termasuk melawan segregasi gender dalam relasi kuasa.

Film "Perang Kota" ini masuk klasifikasi film dewasa 17 tahun ke atas yang menurut Lembaga Sensor Film, bukan film yang cocok untuk ditonton anak-anak.

Penulis dan sutradara film "Perang Kota" sukses merepresentasikan pergulatan para tokoh dari masa dan lokasi yang diadaptasi dari novel "Jalan Tak Ada Ujung" karya Mochtar Lubis itu secara gamblang.

Cuplikan film "Perang Kota" yang bocor di berbagai saluran menunjukkan secara nyata, kalimat Baba Tan, seorang Tionghoa yang nasionalis (diperankan oleh aktor Chew Kin Wah) yang bilang, "Belanda, pakai baju Inggris, Nederlands spreken" saat warung miliknya dicurigai bekerja sama dengan pemberontak oleh serdadu Belanda yang menunggangi Inggris.

Adegan pada cuplikan film itu menunjukkan bahwa bagi warga Jakarta, bahasa Belanda adalah representasi kolonialisme pasca-Perang Dunia II yang mesti dilawan, karena orang-orang Belanda berupaya keras untuk kembali berkuasa di Indonesia.

Di sisi lain, para pejuang kemerdekaan kala itu berupaya melawan kuatnya warisan kolonialisme dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia dengan aktif menggunakan Bahasa Indonesia seperti bahasa sehari-hari. Meskipun belum sepenuhnya terbiasa, semangat perjuangan bahasa dalam "Perang Kota" tergambar dalam dialog-dialog, seperti dari seruan "merdeka!" di antara sesama orang asli Indonesia yang disampaikan dalam bahasa Indonesia.

Walau terkadang, kata yang didasarkan bahasa Belanda atau bahasa daerah Bukittinggi kerap masih juga disisipkan sesekali dalam percakapan, mungkin tidak sengaja atau karena belum memiliki padanan kata yang tepat dalam Bahasa Indonesia di masa itu, itu tidak menghilangkan esensi penggunaan Bahasa Indonesia dalam film ini menjadi bagian dari alat perjuangan.

Keputusan Mouly Surya untuk mempertahankan campur aduk bahasa tentu bukan tanpa risiko. Sebagian penonton mungkin akan merasa kesulitan mengikuti dialog yang berpindah-pindah bahasa atau menganggapnya sebagai gangguan. Namun, untungnya tata suara yang ada di film begitu lantang, hasil kerja penata suara asal Prancis, Vincent Villa di Kamboja. Selain itu penambahan teks bawah layar (takarir) juga membantu kesulitan tersebut untuk bisa dilewati.

Penggunaan rasio aspek layar 4:3, bukan 16:9 atau 21:9 juga sukses menonjolkan elemen estetika dan naratif, serta memperkuat kesan klasik film ini. Bentuk yang membuat layar mendekati persegi membuat suasana intim dengan penonton.

Film "Perang Kota" memanfaatkan teknologi audio Dolby Atmos untuk menghadirkan pengalaman menonton yang lebih imersif dan sinematik. Adegan tembak-menembak pun menjadi semakin menggelegar di telinga.

Film ini juga menggunakan senjata-senjata api klasik seperti Luger, pistol semi otomatis produksi Jerman yang banyak digunakan saat Perang Dunia I dan Perang Dunia II.

Sebagaimana dalam cerita novelnya, guru Isa di film pun menjadi agen rahasia penyelundup senjata yang dipakai para pejuang bangsa Indonesia untuk merebut lagi kemerdekaan dari tangan penjajah, di luar profesi utamanya yang hanya sebagai guru musik.

Kendati demikian, perlu diingat bahwa pengalaman menonton "Perang Kota" mungkin akan berbeda bagi mereka yang telah membaca novel "Jalan Tak Ada Ujung" yang menjadi sumber inspirasinya.

Kekecewaan akan timbul jika penonton berekspektasi untuk mendapatkan visualisasi plot cerita yang persis sama dengan setiap alur cerita yang tertulis di novelnya. Karena novel dan film adalah dua medium pesan yang masing-masing berbeda kekuatan dan keterbatasan. Terlalu terpaku pada detail cerita novel bisa berujung pada rasa tidak puas terhadap representasi di layar.

Misalnya, setiap orang yang sudah membaca novel ini memiliki gambaran tersendiri tentang adegan pengeboman granat tangan di bioskop Rex oleh komplotan guru Isa yang ingin melumpuhkan serdadu Belanda. Namun, dalam "Perang Kota," sutradara Mouly Surya memilih untuk memindahkan latar tempat itu.

Langkah yang diambil untuk menyesuaikan logika cerita dengan latar belakang kelompok yang terdiri atas pemain biola yang andal serta menjadikan keahlian musik guru Isa, yang diperankan oleh Chicco Jerikho, bukan hanya sekadar latar belakang karakter, melainkan elemen kunci dalam rencana pemberontakan.

Namun, keputusan itu berpotensi memicu beragam reaksi dari para pembaca setia novel. Pembaca yang telah memiliki visualisasi kuat tentang adegan di bioskop Rex mungkin merasa kehilangan momen penting yang membekas dalam ingatan mereka, terutama babak pengkhianatan setelah kejadian di bioskop itu yang membuat guru Isa bertambah merana dalam novelnya.

Tapi dalam film, karakter guru Isa yang diperankan Chicco Jerikho digambarkan sebagai sosok yang tegar dari awal hingga akhir. Hal ini berbeda dengan penggambaran guru Isa dalam novel "Jalan Tak Ada Ujung" yang cenderung kurang berani mengambil tindakan dan bahkan ragu untuk menghadapi kesalahan istrinya, Fatimah (yang diperankan aktris Ariel Tatum) meski sudah memperoleh bukti nyata pengkhianatan.

Dalam film, guru Isa versi Chicco Jerikho justru berkebalikan dari itu. Ia justru mendesak Fatimah agar menyesali perbuatannya dengan bukti sama yang didapatkan dari atas kasur, membuat sikap tegas yang dibuatnya terkesan lebih tegaan dan itu kelihatan "macho" (meskipun pak guru masih ditampakkan bermasalah dengan ranjang, seperti di novelnya). Gambaran perbedaan karakter ini menjadi salah satu aspek yang patut dicermati.

Sutradara Mouly telah memberikan Isa multidimensi karakter. Dia digambarkan flamboyan dan gigih, meski juga memiliki konflik internal dalam rumah tangganya bersama sang istri Fatimah, karena sejak awal tidak ingin kaum perempuan ikut mempertaruhkan nyawa di medan pertempuran.

Guru Isa tidak bisa membiarkan istrinya terlibat dalam perjuangannya, selain dari pada masalah urusan rumah tangga, seperti menjaga putra mereka Salim serta mengurus urusan dapur. Walaupun Isa tahu, Fatimah memiliki potensi. Dia bisa bermain musik juga, bahkan sangat terampil. Wanita itu juga mahir menggunakan senjata, bahkan ia telah membunuh seorang tentara resimen Gurkha (diperankan aktor Alex Abbad) yang coba menghalangi jalannya untuk membeli beras di awal film.

Kesimpulannya, film "Perang Kota" merupakan adaptasi novel "Jalan Tak Ada Ujung" yang kompleks dari segi plot, audio-visual, dan dialog tokoh-tokohnya. Dengan pemeran utama Chicco Jerikho, Ariel Tatum, Jerome Kurnia, film ini membawakan dimensi berbeda dari sebuah karya sastra lama ke hadapan kalangan muda yang baru guna mendapat apresiasi secara bebas, kreatif dan dinamis pada saat penayangannya di bioskop mulai 30 April 2025.

Baca juga: Sutradara ungkap adegan kunci di film "Perang Kota" yang menarik

Baca juga: Mouly Surya berbincang dengan sejarawan untuk menyiapkan "Perang Kota"

Baca juga: Ariel nilai Mouly Surya hadirkan keseimbangan dalam film "Perang Kota"

Baca juga: Semangat Rasuna Said hidupi peran Ariel Tatum di film "Perang Kota"

Editor: Dadan Ramdani
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |