Penguji UU MD3 di MK minta rakyat bisa berhentikan anggota DPR

1 hour ago 1
“Permohonan a quo yang dimohonkan oleh para pemohon tidaklah berangkat dari kebencian terhadap DPR dan partai politik, melainkan sebagai bentuk kepedulian untuk berbenah,”

Jakarta (ANTARA) - Pemohon uji materi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, dan DPRD (UU MD3) di Mahkamah Konstitusi (MK) meminta agar rakyat, dalam hal ini konstituen, bisa memberhentikan anggota DPR RI.

Permohonan itu diajukan oleh mahasiswa bernama Ikhsan Fatkhul Azis, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, Muhammad Adnan, dan Tsalis Khoirul Fatna. Mereka menguji konstitusionalitas Pasal 239 ayat (2) huruf d UU MD3.

“Permohonan a quo yang dimohonkan oleh para pemohon tidaklah berangkat dari kebencian terhadap DPR dan partai politik, melainkan sebagai bentuk kepedulian untuk berbenah,” kata Ikhsan, sebagaimana dilansir laman resmi MK dari Jakarta, Selasa.

Pasal yang mereka uji mengatur tentang syarat pemberhentian antarwaktu anggota DPR. Salah satu syaratnya, yaitu "diusulkan oleh partai politik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."

Menurut para pemohon, pasal tersebut menyebabkan terjadinya pengeksklusifan terhadap partai politik untuk memberhentikan anggota DPR.

Namun, mereka memandang, partai politik dalam praktiknya selama ini seringkali memberhentikan anggota DPR tanpa alasan yang jelas dan tidak mempertimbangkan prinsip kedaulatan rakyat.

Sebaliknya, dalil mereka, ketika terdapat anggota DPR yang diminta oleh rakyat untuk diberhentikan karena tidak lagi mendapat legitimasi dari konstituen justru dipertahankan oleh partai politik.

Ketiadaan mekanisme pemberhentian anggota DPR oleh konstituen dinilai telah menempatkan peran pemilih dalam pemilu hanya sebatas prosedural formal. Sebab, anggota DPR terpilih ditentukan berdasarkan suara terbanyak, tetapi pemberhentiannya tidak lagi melibatkan rakyat.

Mereka juga menyatakan tidak dapat memastikan wakilnya di DPR benar-benar memperjuangkan kesejahteraan rakyat dan menjalankan janji-janji kampanye karena tidak lagi memiliki daya tawar setelah pemilu selesai.

Atas dasar itu, para pemohon mengaku mengalami kerugian hak konstitusional yang bersifat spesifik dan aktual, atau setidak-tidaknya potensi akibat berlakunya ketentuan pasal diuji.

Mereka menilai, Pasal 239 ayat (2) huruf d UU MD3 bertentangan dengan prinsip-prinsip yang diatur konstitusi, di antaranya kedaulatan rakyat, partisipasi aktif dan perlakuan yang sama terhadap jalannya pemerintahan, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Maka dari itu, dalam petitumnya, para pemohon meminta Mahkamah untuk menafsrikan Pasal 239 ayat (2) huruf d UU MD3 menjadi “diusulkan oleh partai politiknya dan/atau konstituen di daerah pemilihannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Permohonan ini teregister dengan nomor perkara 199/PUU-XXIII/2025. Sidang pemeriksaan pendahuluan pertama telah digelar pada Selasa (4/11) dan pemeriksaan pendahuluan kedua dengan agenda perbaikan permohonan pada Senin (17/11).

Baca juga: Polri koordinasi lintas lembaga hindari multitafsir putusan MK

Baca juga: Polri bentuk tim pokja tindak lanjuti putusan MK soal jabatan sipil

Baca juga: Profil Arsul Sani, Hakim Konstitusi yang datang dari politisi

Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |