Jakarta (ANTARA) - Fast fashion merupakan istilah yang semakin sering dibahas dalam konteks keberlanjutan lingkungan dan kesadaran akan dampak industri tekstil.
Hal ini merujuk pada produksi pakaian secara massal yang cepat dan murah, meniru tren terbaru dari peragaan busana dan langsung dipasarkan ke toko dalam waktu singkat.
Konsep ini memungkinkan konsumen untuk selalu mendapatkan pakaian dengan model terkini dengan harga yang terjangkau. Namun, di balik kemudahan dan harga murahnya, fast fashion memiliki berbagai dampak lingkungan dan sosial yang sangat besar.
Baca juga: Ketahui lima fakta limbah fesyen di balik tren produksi massal & cepat
Sejarah fast fashion
Sebelum revolusi industri, pakaian merupakan barang yang mahal karena dibuat secara manual dengan detail tinggi. Namun, pada tahun 1980-an, perkembangan teknologi seperti mesin jahit mempercepat produksi pakaian secara massal.
Hal ini memungkinkan industri fast fashion untuk berkembang dengan memproduksi pakaian dalam jumlah besar dengan biaya rendah. Brand seperti Zara, H&M, Shein, dan Forever 21 menjadi pelopor dalam tren fast fashion dengan merilis koleksi baru setiap beberapa minggu sekali.
Ciri-ciri fast fashion
Agar lebih mudah mengenali produk fast fashion, berikut adalah beberapa ciri khasnya:
- Model pakaian selalu mengikuti tren terbaru: Produk fast fashion sering kali dibuat dengan desain yang meniru tren dari peragaan busana terkenal.
- Perubahan model yang sangat cepat: Tren fashion berubah dalam hitungan minggu, membuat konsumen terus tergoda untuk membeli pakaian baru.
- Diproduksi di negara berkembang dengan upah rendah: Banyak pabrik fast fashion berlokasi di negara Asia seperti Bangladesh, Indonesia, dan Vietnam, di mana pekerja menerima gaji rendah dan bekerja dalam kondisi tidak layak.
- Menggunakan bahan berkualitas rendah: Produk fast fashion umumnya menggunakan bahan yang murah dan tidak tahan lama, sehingga cepat rusak dan menjadi limbah.
Baca juga: Cara Konscio Studio upayakan fesyen ramah lingkungan
Dampak fast fashion terhadap lingkungan
Industri fast fashion memiliki berbagai dampak negatif yang sangat besar terhadap lingkungan, di antaranya:
1. Konsumsi air yang berlebihan
Fast fashion merupakan industri kedua terbesar dalam konsumsi air. Dibutuhkan sekitar 700 galon air untuk memproduksi satu kaos katun, dan 2.000 galon air untuk membuat satu celana jeans. Selain itu, pencelupan tekstil menjadi penyebab pencemaran air terbesar kedua di dunia, karena limbah pewarna yang tidak terurai sering kali dibuang langsung ke sungai dan laut.
2. Polusi mikroplastik
Banyak pakaian fast fashion terbuat dari serat sintetis seperti poliester, nilon, dan akrilik yang sulit terurai. Saat dicuci, serat-serat kecil dari bahan ini terlepas dan mencemari lautan. Menurut laporan International Union for Conservation of Nature (IUCN) tahun 2017, sekitar 35% dari mikroplastik di lautan berasal dari pencucian tekstil sintetis.
3. Emisi karbon yang tinggi
Produksi pakaian menyumbang 10% dari total emisi karbon dunia, lebih banyak dibandingkan gabungan emisi dari penerbangan internasional dan pengiriman maritim. Bahkan, emisi dari industri tekstil diprediksi meningkat 60% pada tahun 2030.
4. Limbah tekstil
Sebanyak 85% dari seluruh pakaian yang diproduksi setiap tahunnya berakhir di tempat pembuangan sampah. Sebagian besar bahan fast fashion tidak bisa terurai dan membutuhkan waktu ratusan tahun untuk hancur.
Baca juga: Blibli dan EcoTouch hasilkan kain baru dari limbah fesyen
Dampak sosial fast fashion
Selain dampak lingkungan, fast fashion juga memberikan efek negatif bagi masyarakat, terutama pekerja di negara berkembang. Berikut di antaranya:
- Eksploitasi pekerja: Sekitar 80% tenaga kerja di industri pakaian adalah perempuan muda berusia 18-24 tahun yang bekerja dalam kondisi tidak aman dan menerima upah rendah.
- Buruknya kondisi kerja: Banyak pekerja bekerja lebih dari 12 jam sehari di pabrik dengan ventilasi buruk dan tanpa perlindungan keselamatan.
- Tragedi rana plaza: Pada tahun 2013, pabrik garmen Rana Plaza di Bangladesh runtuh, menewaskan 1.134 pekerja. Kejadian ini menjadi bukti nyata buruknya kondisi kerja di industri fast fashion.
Baca juga: Pakaian lebih praktis dan ringan lebih disukai saat ini
Kehadiran slow fashion sebagai solusi
Sebagai solusi terhadap dampak buruk fast fashion, gerakan slow fashion hadir untuk mengedepankan produksi pakaian yang lebih etis dan ramah lingkungan. Slow fashion menekankan pada:
- Menggunakan bahan yang lebih ramah lingkungan seperti katun organik, linen, dan hemp.
- Mengurangi konsumsi pakaian dengan membeli produk berkualitas yang tahan lama.
- Mendukung merek yang memiliki komitmen terhadap praktik produksi yang adil dan berkelanjutan.
- Membeli pakaian bekas atau melakukan pertukaran pakaian untuk mengurangi limbah tekstil.
Beberapa merek besar mulai melakukan perubahan, salah satunya Ralph Lauren. Mereka menargetkan penggunaan 100% bahan baku yang berkelanjutan pada tahun 2025, sementara beberapa platform seperti ThredUp dan Poshmark memungkinkan konsumen untuk menjual dan membeli pakaian bekas.
Fast fashion mungkin menawarkan pakaian murah dan trendi, akan tetapi dampaknya terhadap lingkungan dan sosial sangatlah besar. Semakin meningkatnya kesadaran akan dampak buruk dari fast fashion, penting bagi kita untuk mengubah kebiasaan konsumsi, mendukung slow fashion, dan memilih produk yang lebih berkelanjutan.
Mengurangi konsumsi fast fashion bukan hanya membantu lingkungan, tetapi juga memberikan dampak positif bagi kesejahteraan pekerja di industri tekstil dunia.
Baca juga: Poppy Dharsono khawatir industri mode cepat merusak lingkungan
Baca juga: Kenali perbedaan 'fast fashion' vs 'sustainable fashion'
Pewarta: Raihan Fadilah
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2025