Jakarta (ANTARA) - Pengamat keamanan siber dan politik internasional Miftahul Ulum mengungkapkan bahwa medan juang generasi muda telah bergeser dari konfrontasi fisik di dunia nyata ke sebuah lanskap digital yang tak kasat mata.
Menurut dia, medan juang bagi generasi muda Indonesia saat ini yakni dunia metaverse, kecerdasan buatan (AI), dan algoritma. Ketiganya, menurut dia, adalah kekuatan tak terlihat, yang berkontribusi membentuk kebiasaan, mempolarisasi pandangan, dan cara berfikir seseorang.
"Beberapa dekade belakangan, bersosialisasi secara fisik itu terdisrupsi oleh media sosial. Lalu sekarang media sosial terdisrupsi oleh metaverse," kata Miftahul di Jakarta, Selasa.
Disrupsi teknologi dan pergeseran budaya, menurut dia, bukanlah fenomena baru. Pada zaman Plato, ada perubahan budaya oral, dimana orang berpidato, berdebat berubah menjadi budaya tulisan.
Dia mengatakan perubahan tersebut menimbulkan dinamika di masyarakat kala itu, namun hal tersebut memberikan sebuah peluang dan risiko bagi peradaban manusia.
Di sisi lain, dia menilai peluang di era teknologi digital bagi generasi muda sangatlah besar. Era ini memungkinkan Gen Z, Gen Alpha beralih dari sekadar konsumen menjadi global citizen creator, inovator, penggerak perubahan dan perdamaian yang dampaknya lintas batas.
Baca juga: BNPT fokus antisipasi proses radikalisasi di ruang digital
“Mereka dapat membekali dirinya dengan pelajaran, keterampilan secara mandiri dan juga membangun komunitas untuk berbagi nilai kebaikan kepada masyarakat dan lingkungan,” katanya.
Namun dibalik persona teknologi digital yang sempurna, menurut dia, terdapat hubungan interpersonal yang tergerus, hilangnya rasa memiliki yang otentik (authentic sense of belonging) yang menjadi ancaman terhadap persatuan dan kesatuan bangsa.
Dia menilai dalam ruang digital, masyarakat secara tidak langsung diisolasi oleh logika algoritma. Interaksi dengan gawai menghambat perkembangan empati, kemampuan membaca emosi, dan resilience (ketahanan) dalam menghadapi konflik di dunia nyata.
“Algoritma itu akan cenderung mengisolasi kita dengan yang dekat (serupa), sehingga terisolasi secara ideologis,” kata Ketua Program Studi Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) itu.
Kondisi itulah, menurut dia, yang menjadi celah subur bagi infiltrasi propaganda ekstrem dan narasi kekerasan. Dia mengingatkan bahwa ruang virtual yang imersif, seperti game di metaverse, kini telah menjadi inkubator baru radikalisasi.
Dia pun meminta pemerintah responsif terhadap potensi risiko ini. Pengembangan kecerdasan imitasi dalam hal penguatan ideologi bangsa menjadi penting untuk membangun imunitas ideologi dalam menyongsong Indonesia Emas di tahun 2045.
“Ketahanan siber tidak hanya tentang bagaimana how to detect, mendeteksi, tetapi juga bagaimana mencegah,” kata dia.
Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
Editor: Edy M Yakub
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































