Jakarta (ANTARA) - Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmi Radhi menilai kebijakan Harga Patokan Mineral (HPM) merupakan instrumen fiskal yang dapat mengarahkan perilaku pelaku usaha untuk berorientasi pada hilirisasi.
“Selama ini ekspor bahan mentah lebih menguntungkan, karena margin tinggi dan prosesnya cepat. Dengan HPM dan larangan ekspor, pemerintah menciptakan disinsentif agar pelaku usaha mau berinvestasi ke smelter,” ujar Fahmi dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.
Pernyataan tersebut terkait dengan kebijakan HPM dan larangan ekspor bijih bauksit. Kebijakan tersebut dinilai menjadi bagian dari strategi besar untuk meningkatkan nilai tambah mineral atau hilirisasi di dalam negeri.
"Larangan ekspor dan HPM adalah bagian dari peningkatan nilai tambah mineral. Ini amanat konstitusi, dan bukan kebijakan mendadak. Justru sejak diberlakukan, kita melihat mulai tumbuhnya investasi pada smelter-smelter baru," kata Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Tri Winarno.
Tri menyampaikan HPM ditujukan untuk menciptakan industri pengolahan mineral nasional yang mandiri, serta berdaya saing global.
Indonesia perlu memperkuat pengolahan mineral dalam negeri, sehingga lebih banyak produk mineral yang mampu menopang pertumbuhan industri manufaktur berbasis sumber daya alam ke depan.
Tri menyoroti Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) di Kalimantan Barat sebagai contoh nyata dari hilirisasi yang berhasil. Proyek ini dikelola oleh PT Borneo Alumina Indonesia (BAI), anak usaha dari PT Indonesia Asahan Aluminium (INALUM) dan PT Aneka Tambang Tbk (ANTAM).
Setelah larangan ekspor bijih bauksit diberlakukan pada Juni 2023, proyek SGAR dipercepat, kini SGAR telah beroperasi dan sukses melakukan pengiriman perdana ke Kuala Tanjung INALUM.
Baca juga: Antam siapkan ekosistem hilirisasi terintegrasi, pacu industri alumina
Baca juga: Menperin pastikan hilirisasi hingga TKDN menjadi fondasi pacu ekonomi
Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2025