Pakar: Perdamaian di Asia Pasifik didasarkan pada kerja sama "win-win"

1 day ago 9

Singapura (ANTARA) - Perdamaian dan pembangunan di kawasan Asia Pasifik harus dibangun di atas kerja sama yang saling menguntungkan, alih-alih deterens militer, kata seorang pakar dari Indonesia.

Kerja sama praktis China dengan Indonesia dan negara-negara lainnya di kawasan ini telah memberikan kontribusi besar bagi perdamaian dan pembangunan di kawasan ini, kata Direktur Indonesia-China Partnership Studies Institute Veronika Saraswati dalam sebuah wawancara dengan Xinhua belum lama ini.

China, lanjut dia, tidak pernah terlibat dalam penjajahan terhadap negara lain. Sebaliknya, China sendiri pernah mengalami penjajahan di abad ke-19 dan awal abad ke-20. "Pengalaman yang sama ini memupuk solidaritas antara China dan negara-negara berkembang di Asia, Afrika, dan Amerika Latin," ujarnya.

Mengungkapkan bahwa China telah lama menjadi mitra dagang terbesar Indonesia, dengan kerja sama yang bermanfaat di bidang infrastruktur, ekonomi digital, dan bidang-bidang lainnya, ia mengatakan "retorika atau tindakan apa pun yang merusak hubungan Indonesia-China secara langsung akan merugikan kepentingan pembangunan Indonesia sendiri."

"Selama dua dekade terakhir, China menjadi simpul penting dalam rantai pasokan global, dan kerja sama antara negara-negara regional dan China sangat penting untuk menjaga stabilitas serta kemakmuran di Asia Pasifik," ungkapnya.

Mengenai isu bagaimana memastikan stabilitas jangka panjang di kawasan Asia Pasifik, Saraswati menggambarkan konsep Barat tentang "perdamaian melalui kekuatan" sebagai sebuah paradoks yang mendalam.

"Sepanjang sejarah, tidak pernah ada perdamaian abadi yang dicapai melalui perang," sebutnya seraya menambahkan bahwa pendekatan untuk mencari keamanan melalui deterens militer pasti akan mengarah pada perlombaan senjata dan meningkatkan ketegangan.

Selain itu, Saraswati mengatakan gagasan deterens militer berfungsi sebagai "jalan menuju perdamaian" merupakan sebuah narasi yang dirancang untuk membenarkan kepentingan industri perang negara-negara tertentu. "Di balik retorika 'perdamaian' terdapat ekonomi perang yang sangat besar," ungkap Saraswati.

Sebaliknya, katanya, pendekatan China bertujuan membangun perdamaian yang langgeng. "Stabilitas yang sesungguhnya berasal dari pembangunan kepercayaan, saling ketergantungan ekonomi, dan mekanisme penyelesaian konflik, bukan konfrontasi menang-kalah (zero-sum)," tuturnya.

Saraswati menentang keras framing keamanan regional sebagai permainan antar negara. "Mentalitas Perang Dingin ini tidak menghormati otonomi strategis negara-negara ASEAN. Indonesia, misalnya, mengejar kebijakan luar negeri yang independen dan menolak menjadi proksi dalam persaingan negara-negara besar," katanya.

"ASEAN bertujuan menjadi perekonomian terbesar keempat di dunia pada 2030, yang membutuhkan stabilitas dan konektivitas, bukan konfrontasi blok. Model pembangunan bersama yang diterapkan China, bukan pemaksaan militer, merupakan jalan menuju perdamaian abadi," ujar Saraswati.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |