Menjaga efisiensi fiskal di era pemerintahan baru

3 hours ago 1
Pemerintah tidak lagi bisa mengandalkan pendekatan tradisional berbasis stimulus luas, tetapi harus memastikan setiap insentif fiskal memiliki dampak ekonomi yang terukur dan berpihak pada penciptaan nilai tambah nasional

Jakarta (ANTARA) - Satu tahun pertama pemerintahan Prabowo–Gibran menandai babak baru dalam tata kelola fiskal Indonesia yang berorientasi pada efisiensi, transparansi, dan keberlanjutan.

Di tengah upaya menjaga stabilitas makro ekonomi dan mempercepat pertumbuhan nasional, pemerintah memperkuat pondasi reformasi di sektor perpajakan.

Salah satu langkah paling strategis adalah penerapan reformasi belanja perpajakan (tax expenditure) untuk menjadikan kebijakan yang tidak lagi sekadar berfungsi sebagai alat pemberian insentif investasi, melainkan sebagai instrumen pengelolaan fiskal berbasis evaluasi, efektivitas, dan hasil ekonomi.

Pendekatan baru ini memperlihatkan keseriusan pemerintah dalam mengoptimalkan penerimaan negara tanpa membebani pelaku usaha, sekaligus memastikan bahwa kebijakan fiskal benar-benar berdampak pada kesejahteraan rakyat dan pemerataan pembangunan.

Perubahan arah kebijakan ini tidak dapat dilepaskan dari dinamika ekonomi global yang semakin kompleks. Dunia kini menghadapi tekanan fiskal akibat perlambatan ekonomi, perang dagang, serta transisi menuju ekonomi hijau yang menuntut investasi besar.

Banyak negara mulai dari Amerika Serikat hingga Uni Eropa tengah meninjau ulang insentif fiskal mereka untuk menutup defisit dan menjaga keberlanjutan anggaran.

Dalam konteks tersebut, Indonesia tak bisa tinggal diam. Sebagai negara dengan rasio pajak sekitar 10,1 persen dari PDB, Indonesia masih memiliki ruang terbatas untuk menanggung beban insentif yang tidak efisien.

Karena itu, reformasi belanja perpajakan dengan prinsip sunset clause menjadi penting agar setiap bentuk keringanan pajak dapat dievaluasi secara berkala dan tidak berubah menjadi “kebocoran fiskal” permanen yang justru melemahkan kapasitas pembangunan nasional.

Di sisi domestik, tekanan pembiayaan publik semakin besar seiring meningkatnya kebutuhan untuk mendanai program prioritas nasional, seperti pangan, pendidikan, dan pertahanan.

Di saat yang sama, pemerintah juga harus menjaga defisit agar tetap terkendali di bawah ambang batas 3 persen PDB. Tantangan ini menuntut disiplin fiskal yang lebih ketat, di mana setiap rupiah belanja, termasuk yang dikeluarkan dalam bentuk insentif pajak, harus mampu menghasilkan nilai ekonomi yang terukur.

Menurut Laporan Belanja Perpajakan 2023 dari Kementerian Keuangan, nilai belanja perpajakan Indonesia mencapai Rp362,5 triliun atau 1,73 persen dari PDB. Angka ini mencerminkan potensi penerimaan pajak yang dilepaskan oleh negara untuk mendukung kegiatan ekonomi, namun jika tidak diawasi secara tepat, dapat menggerus ruang fiskal yang seharusnya digunakan untuk memperkuat pelayanan publik dan investasi produktif.

Karena itulah, penerapan sunset clause bukan hanya kebijakan administratif, tetapi sebuah langkah strategis dalam menjaga keseimbangan fiskal nasional. Dengan mekanisme ini, setiap insentif pajak akan memiliki masa berlaku dan dievaluasi berdasarkan data empiris apakah benar mendorong investasi, menciptakan lapangan kerja, atau hanya menguntungkan kelompok tertentu.

Langkah ini juga sejalan dengan agenda reformasi struktural yang lebih luas: memperbaiki basis perpajakan, menutup celah kebocoran, dan memastikan bahwa insentif fiskal menjadi alat pembangunan yang tepat sasaran.

Dalam konteks global yang penuh ketidakpastian dan tekanan domestik terhadap keadilan sosial, kebijakan ini menjadi bukti bahwa pemerintah tidak hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi jangka pendek, tetapi juga pada ketahanan fiskal jangka panjang yang akan menopang visi besar menuju Indonesia Emas 2045.

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |