Mengenal hiloi sebagai simbol adat dan jati diri suku Sentani

3 hours ago 2

Jayapura (ANTARA) - Setiap rumah dari masyarakat adat Sentani di Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua, tersembunyi atau tersimpan sebuah benda sederhana yang sarat makna pada sudut dapur, yakni hiloi.

Hiloi merupakan garpu kayu tradisional yang digunakan untuk menyantap papeda, makanan pokok masyarakat Papua yang terbuat dari sagu.

Lebih dari sekadar peralatan makan, hiloi merupakan simbol warisan budaya, alat pemersatu keluarga dan penanda identitas masyarakat suku Sentani.

“Hiloi itu bukan cuma kayu bercabang, alat ini menyimpan filosofi hidup masyarakat adat Sentani tentang kebersamaan, kesabaran dan penghormatan pada leluhur,” kata budayawan asli suku Sentani, Orgenes Monim, kepada ANTARA.

Suku Sentani sendiri merupakan kelompok etnis yang mendiami wilayah Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua terutama di sekitar Danau Sentani dan sebagian wilayah Kota Jayapura, dengan jumlah penduduk sekitar 30.000 jiwa.

Permukiman suku Sentani terpusat di tiga wilayah geografis. Pertama, kelompok barat yang terkonsentrasi di Pulau Yonokom. Di pulau ini terdapat beberapa kampung seperti Doyo, Sosiri, Yakonde, dan Dondai.

Di daratan sebelah barat pulau ini berdiam suku Moy di kampung-kampung seperti Sabron Yaru, Dosai Waibron dan Maribu. Mereka memiliki dialek tersendiri.

Kedua, kelompok timur yang terkonsentrasi di Pulau Asei. Kelompok ini tersebar dalam empat kampung yakni Ayapo, Asei Besar, Asei Kecil, termasuk Waena, dan Yoka yang masuk wilayah Kota Jayapura.

Ketiga, kelompok tengah yang terkonsentrasi di Pulau Ifar. Kampung-kampung mereka yakni Kabetrow, Ifar Besar, Ifar Kecil dan Yoboi dan sekitarannya.

Pada Juni 2025, masyarakat Kabupaten Jayapura akan merayakan keberadaan hiloi dalam sebuah gelaran budaya bertajuk Festival Budaya Sejuta Hiloi.

Festival ini akan berlangsung di Kampung Ebungfa, Distrik Ebungfauw,. Kegiatan ini sebagai bagian dari upaya melestarikan warisan budaya tak benda dan penguatan identitas lokal masyarakat suku Sentani.

Trilogi budaya kuliner Sentani

Dalam budaya kuliner suku Sentani, hiloi tidak berdiri sendiri tetapi selalu hadir bersama wadah papeda berbahan tanah liat atau gerabah yang dalam bahasa Sentani disebut helai, serta tempat lauk pauk yang juga terbuat dari tanah liat atau dalam bahasa Sentani disebut hote.

Ketiganya membentuk sistem saji makanan tradisional yang estetik dan juga sarat akan nilai spiritual dan ekologis.

Kepala Bidang Kebudayaan pada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Jayapura Fredrik Modouw kepada ANTARA menjelaskan, hiloi merupakan bagian penting dari ekosistem budaya yang hidup dan berkembang di tengah masyarakat.

“Masyarakat adat Sentani memiliki hubungan emosional dengan hiloi. Alat makan ini hadir dalam jamuan keluarga, upacara adat bahkan dalam acara gereja. Saat seseorang meninggal dunia, keluarga akan menghidangkan papeda dengan hiloi sebagai simbol perpisahan yang penuh penghormatan,” katanya.

Proses pembuatan hiloi tidak sembarangan. Kayu yang digunakan biasanya berasal dari pohon tertentu seperti kayu matoa, yang dipilih dengan memperhatikan kekuatan dan kehalusan seratnya.

Prosesnya dilakukan secara manual oleh perajin yang mewarisi keterampilan dari generasi sebelumnya.

Ruang refleksi

Festival Budaya Sejuta Hiloi yang digagas bersama masyarakat Kampung Ebungfa diharapkan dapat menjadi wadah untuk menggali, merayakan dan mengajarkan kembali makna hiloi bagi masyarakat, khususnya generasi muda.

Dalam festival ini, masyarakat tidak hanya diajak untuk menyaksikan pertunjukan budaya, tetapi juga ikut serta dalam workshop pembuatan hiloi, atraksi tradisional, dan pameran kuliner lokal.

Rapat koordinasi yang digelar pada akhir April 2025 telah melibatkan tokoh adat, pemimpin adat (Ondoafi), tokoh perempuan, pemuda serta perwakilan komunitas budaya.

Rapat tersebut membahas hal-hal teknis dalam pelaksanaan festival, pembentukan panitia hingga pembagian peran setiap pihak.

“Tujuan utama kami yakni membangun kesadaran bahwa hiloi bukan benda museum. Ia masih hidup, digunakan, dan harus diwariskan secara aktif karena itu festival ini dirancang sebagai wadah pembelajaran dan perjumpaan lintas generasi,” kata Fredrik Modouw.

Sementara itu, rangkaian kegiatan dalam festival ini akan mencakup atraksi budaya dan seremoni adat, termasuk prosesi makan papeda bersama secara massal menggunakan hiloi, pertunjukan seni tradisional seperti tarian yosim pancar dan lagu-lagu rakyat.

Kegiatan lainnya, perlombaan tradisional seperti lomba cepat makan papeda, membuat hiloi dan mendongeng legenda Sentani, akan ada workshop interaktif yang mengajarkan teknik mengukir hiloi dan membentuk helai dan hote.

Dalam festival ini juga akan ada pameran Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dan kuliner lokal, menampilkan produk-produk kerajinan tangan, makanan berbasis sagu dan ikan serta hasil hutan non-kayu, serta panggung rakyat, tempat anak-anak muda Sentani mengekspresikan kreativitas lewat puisi, musik akustik dan drama.

Regenerasi budaya

Di tengah arus globalisasi dan derasnya pengaruh budaya luar, hiloi menjadi salah satu simbol budaya yang terancam ditinggalkan. Banyak anak muda Papua, terutama yang tinggal di perkotaan, sudah tidak lagi mengenal fungsi dan makna hiloi.

“Anak-anak sekarang harus tahu, sebelum ada sendok dan garpu dari pabrik, orang tua kita hidup harmonis dengan alat makan buatan sendiri, mereka tidak sekedar makan, tetapi merasakan kehadiran leluhur lewat hiloi,” kata Orgenes Monim.

Festival Sejuta Hiloi diharapkan menjadi momentum penting untuk menghidupkan kembali tradisi ini, lewat pendekatan partisipatif festival ini ingin memastikan bahwa anak muda terlibat tidak hanya sebagai penonton, tetapi juga sebagai pelaku dan pewaris budaya.

Untuk itu, panitia festival akan melibatkan pelajar dari berbagai sekolah di Distrik Ebungfauw dan sekitarnya. Mereka akan diberikan kesempatan belajar langsung dari para perajin, tampil di panggung budaya dan ikut serta dalam lomba-lomba yang digelar.

Festival ini lebih dari sekadar upaya melestarikan budaya, tapi festival ini juga diarahkan sebagai bagian dari strategi pengembangan pariwisata berbasis budaya di Kabupaten Jayapura. Potensi pariwisata budaya di wilayah Danau Sentani sangat besar, tetapi belum tergarap secara maksimal.

“Dengan memperkenalkan hiloi sebagai simbol budaya Sentani, kita juga menciptakan brand lokal yang unik. Wisatawan datang bukan hanya untuk melihat danau saja, tetapi juga mengalami tradisi makan papeda langsung dari dapur masyarakat adat,” kata Fredrik Modouw.

Festival Budaya Sejuta Hiloi diharapkan akan menjadi agenda tahunan yang dapat masuk ke dalam kalender (calender event) budaya Papua.

Selain memperkuat jati diri masyarakat, festival ini akan membuka peluang ekonomi baru bagi perajin, petani sagu, nelayan tradisional dan pelaku UMKM lokal.

Kampung Ebungfa dipilih sebagai tuan rumah festival karena dinilai masih menjaga tradisi secara utuh. Penduduk kampung ini hidup berdampingan dengan danau, masih menggunakan peralatan tradisional dalam kehidupan sehari-hari dan memiliki komitmen kuat terhadap pelestarian budaya.

"Ebungfa merupakan contoh kampung yang tidak terputus dari akar adatnya, kami ingin mengangkat mereka sebagai model regenerasi budaya yang organik,” ujar Fredrik.

Bagi masyarakat Ebungfa, festival ini bukan hanya sekadar perayaan tetapi juga tanggung jawab untuk menunjukkan kepada dunia bahwa budaya Papua tidak hilang, tidak punah dan tidak usang.

Sebaliknya, ia hidup dalam keheningan dapur, dalam kebersamaan saat makan papeda dan dalam tangan-tangan yang membuat hiloi dengan penuh cinta.

Hiloi dalam diamnya menyampaikan pesan yang mendalam, bahwa budaya adalah milik bersama yang harus dijaga, dihargai dan diwariskan.

Melalui Festival Sejuta Hiloi, masyarakat Kabupaten Jayapura sedang menulis ulang narasi budaya mereka, bukan sebagai masa lalu yang dilupakan tetapi sebagai warisan yang dibawa ke masa depan.

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |