Brussel (ANTARA) - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen pada Minggu (27/7) mengumumkan bahwa AS dan Uni Eropa (UE) telah mencapai perjanjian perdagangan baru.
Meski Gedung Putih menyebut kesepakatan itu sebagai sesuatu yang "bersejarah", banyak pihak di Eropa mengkritiknya sebagai hal yang tidak adil bagi UE.
Dalam konferensi pers pada Minggu setelah pertemuannya dengan von der Leyen di Skotlandia, Trump mengumumkan bahwa, berdasarkan perjanjian tersebut, UE akan membeli produk energi senilai 750 miliar dolar AS (1 dolar AS = Rp16.399) dari AS dan meningkatkan investasinya di AS sebesar 600 miliar dolar AS.
Sebuah dokumen yang dirilis oleh Gedung Putih pada Senin (28/7) menunjukkan bahwa sebagian besar ekspor UE ke AS, termasuk farmasi, mobil dan suku cadangnya, serta semikonduktor, akan dikenakan tarif sebesar 15 persen, sementara produk baja, aluminium, dan tembaga Eropa yang diekspor ke AS akan tetap dikenakan tarif sebesar 50 persen.
Kesepakatan tersebut, yang menurut Gedung Putih menandai "modernisasi aliansi transatlantik lintas generasi", memicu kritik luas dari para pemimpin politik hingga para pakar di berbagai negara Eropa.
Perdana Menteri (PM) Prancis Francois Bayrou menyebut Minggu sebagai "hari yang kelam" bagi UE karena telah memilih untuk "tunduk".
Kanselir Jerman Friedrich Merz pada Senin mengatakan bahwa perjanjian itu akan sangat merugikan perekonomian Jerman, lantaran tarif menimbulkan beban serius bagi perekonomian Jerman yang berorientasi ekspor.
Ketua Komite Perdagangan Internasional Parlemen Eropa Bernd Lange memperingatkan bahwa kesepakatan itu dapat merusak stabilitas ekonomi dan jaminan kerja di blok itu, seraya menyebutnya sebagai sesuatu yang "tidak memuaskan" dan "sangat tidak seimbang".
"Ini kesepakatan yang timpang. Jelas, konsesi yang dibuat sulit untuk ditanggung," kata Lange dalam sebuah pernyataan pada Minggu. "Secara keseluruhan, kesepakatan ini akan berkontribusi pada pelemahan pembangunan ekonomi UE dan merugikan produk domestik brutonya."
Menteri Keuangan Finlandia Riikka Purra menyuarakan kritik tajam terhadap perjanjian perdagangan tersebut, dengan mengatakan bahwa meski UE mungkin bernegosiasi dari posisi yang lebih lemah, perjanjian yang dilaporkan itu tampak sangat tidak seimbang.
Purra juga mempertanyakan pembelian dan investasi senilai hingga 1,3 triliun dolar AS yang dijanjikan, yang dia sebut sebagai "pemanis" yang menyertai perjanjian tersebut. Dia meragukan legitimasi komitmen keuangan semacam itu dari UE, mempertanyakan mandat apa yang digunakan untuk menegosiasikannya.
Profesor Julian Hinz dari Kiel Institute for the World Economy memperingatkan bahwa perjanjian perdagangan transatlantik yang baru tersebut berisiko merusak sistem perdagangan global berbasis aturan, seraya menyebut perjanjian itu sebagai bentuk "peredaan" yang menandai penyimpangan serius dari prinsip-prinsip perdagangan multilateral.
"Meski UE dapat mencegah perang dagang dalam jangka pendek, pihaknya membayar harga yang mahal dalam jangka panjang dengan mengabaikan prinsip-prinsip sistem perdagangan dunia multilateral berbasis aturan dari Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO), yang telah berperan penting dalam menjamin kemakmuran Eropa hingga saat ini," ungkap Hinz.
Clemens Fuest, presiden Institut Ifo yang berbasis di Munich, mengatakan kesepakatan perdagangan tersebut merupakan penghinaan bagi UE sekaligus mencerminkan ketidakseimbangan kekuatan.
"Masyarakat Eropa perlu bangkit, lebih berfokus pada kekuatan ekonomi mereka, dan mengurangi ketergantungan militer serta teknologi pada AS. Setelah itu, mereka bisa bernegosiasi ulang," ujarnya.
Pewarta: Xinhua
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.