Jakarta (ANTARA) - Perbincangan publik terhadap kesehatan tanah atau soil health di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia sedang meningkat.
Saat ini istilah kesehatan tanah digunakan oleh para ilmuwan dan masyarakat awam untuk menghargai dan memahami pentingnya tanah bagi kehidupan manusia.
Sebelumnya, istilah yang juga populer adalah ‘tanah miskin’, ‘tanah lelah’, ‘tanah sakit’. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan kondisi tanah yang kekurangan nutrisi dan tidak mampu menunjang pertumbuhan tanaman.
Di Indonesia juga sering terungkap istilah-istilah ‘penzaliman tanah' untuk menggambarkan degradasi tanah akibat ulah manusia yang tidak bertanggung jawab.
Tanah memang sumber kehidupan di bumi ini. Beberapa masyarakat lokal bahkan mengakui tanah sebagai ‘ibu’ yang memberi kehidupan.
Umumnya dunia modern yang awam hanya mengenal tanah sebagai tempat bercocok tanam.
Namun, sesungguhnya tanah bukan hanya menunjang pertumbuhan tanaman, tapi dapat menyerap dan menyaring air, menyediakan nutrisi, habitat dari berbagai fauna dan flora, serta berperan juga dalam menentukan iklim global.
Dengan demikian, tanah yang terdegradasi bukan hanya merugikan sektor pertanian karena menurunkan produktivitas.
Tanah yang terdegradasi juga berdampak negatif terhadap penyediaan air bersih, keanekaragaman hayati, dan bahkan berkontribusi terhadap perubahan iklim karena kemampuannya menyerap karbon dioksida (CO₂) serta udara berkurang.
Tanah sehat
Meskipun istilah ‘tanah sehat’ semakin populer, masih banyak perdebatan mengenai makna sebenarnya dari "tanah sehat".
Pada tahun 1980-an, fokus utama para peneliti dan akademisi tanah adalah pada kesuburan tanah yakni kemampuan tanah untuk mendukung pertumbuhan tanaman.
Pada 1990-an muncul istilah kualitas tanah (soil quality) yang menekankan pada fungsi tanah secara keseluruhan, termasuk kemampuan tanah mendukung produksi tanaman.
Baru berikutnya, sejak 2010-an, istilah kesehatan tanah mulai digunakan secara lebih luas. Namun, apakah ini hanya sekadar “ganti casing” atau penggantian istilah dengan makna yang sama?
Kata “sehat” lebih mudah dipahami oleh masyarakat umum maupun pembuat kebijakan. Istilah ini juga dapat dikaitkan dengan kesehatan tanaman dan kesehatan manusia.
Dengan menggunakan kata ‘sehat’, tanah diposisikan sebagai sistem yang hidup, bukan sekadar benda mati, tapi memiliki dan mendukung kehidupan.
Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), kesehatan tanah adalah kemampuan tanah untuk berfungsi sebagai sistem hidup dalam batas ekosistem dan penggunaan lahan, guna mendukung produktivitas tanaman dan hewan, menjaga atau meningkatkan kualitas air dan udara, serta mendukung kesehatan tanaman dan hewan.
Definisi ini menegaskan bahwa tanah adalah ekosistem hidup yang memiliki berbagai fungsi penting, tidak hanya untuk pertanian.
Ciri tanah sehat
Jika ditanya apa ciri-ciri tanah sehat, ahli pertanian biasanya menjawab bahwa tanah sehat mempunyai bahan organik yang tinggi, hewan tanah yang banyak, dengan tekstur lempung, pH netral (tidak terlalu asam atau basa), tidak mengandung unsur beracun, serta kemampuan serapan hara yang baik.
Namun, mari mengambil contoh tanah di Sumatera Selatan yang masih berupa hutan alami.
Tanah ini berasal dari batuan endapan tua yang sudah banyak mengalami pelapukan. Warnanya merah, pH-nya asam, kadar liatnya tinggi, namun daya serap haranya rendah.
Menurut kriteria di atas, tanah ini bisa dibilang tidak sehat. Namun kenyataannya, tanah ini mendukung hutan tropis yang lebat dan subur.
Contoh lain adalah tanah sulfat masam di pesisir Kalimantan Barat, yang kaya dengan mineral pirit (FeS₂) dan tergenang air.
Tanah ini merupakan habitat alami hutan bakau atau mangrove. Jika dikeringkan, pirit akan teroksidasi dan menyebabkan tanah menjadi sangat asam dan beracun.
Apakah tanah ini tidak sehat? Berdasarkan definisi FAO, selama tanah tersebut mendukung ekosistem alaminya, maka ia tetap sehat.
Hal ini menunjukkan bahwa kriteria kesehatan tanah tidak dapat disamakan dengan kesuburan tanah semata, karena kesuburan lebih menekankan pada produktivitas pertanian.
Tantangan mengelola
Pandangan masyarakat tentang kesehatan tanah masih sering keliru. Banyak yang menganggap bahwa penggunaan pupuk sintetis secara terus-menerus adalah penyebab utama tanah menjadi tidak sehat.
Padahal, pertanian adalah proses yang mengekstraksi unsur hara dari tanah melalui panen. Oleh karena itu, unsur hara seperti nitrogen (N), fosfor (P), dan kalium (K) perlu dikembalikan agar produktivitas bisa berlanjut.
Tanaman tidak menyerap bahan organik, melainkan unsur hara yang terkandung di dalamnya.
Memang betul, banyak tanah telah habis dikuras dengan pertanian terus menerus, sehingga bahan organik rendah dan rentan erosi.
Banyak pengolahan lahan yang dapat diterapkan untuk mencegahnya seperti pertanian sistem tanpa olah tanah, agroforestry, dan penanaman penutup tanah.
Kegagalan sering terjadi ketika pembukaan lahan tidak mempertimbangkan kapasitas dan karakteristik tanah.
Misalnya, tanah rawa di Kalimantan, yang secara alami mengandung mineral pirit, bukan tidak sehat, melainkan memang tidak cocok untuk budi daya tanaman pangan dan hortikultura karena ketika dikeringkan segera teroksidasi menjadi tanah sulfat masam.
Upaya untuk "menyehatkan" tanah-tanah seperti itu dengan bahan organik, biochar, atau kapur seringkali tidak berkelanjutan dalam jangka panjang.
Contoh nyata adalah proyek food estate di Humbang Hasundutan yang gagal karena tanahnya memiliki kemasaman tinggi dan daya serap hara yang rendah, sehingga tidak mendukung tanaman hortikultura.
Penggunaan lahan secara berkelanjutan berarti tanah digunakan sesuai dengan kapasitas alaminya.
Tanah yang tidak cocok untuk pertanian sebaiknya difungsikan untuk layanan ekosistem lain seperti hutan penyangga karbon, pelindung keanekaragaman hayati, dan penyaring air alami.
Sehingga konsep Kesehatan tanah masih perlu diperjelas, Kesehatan tersebut untuk siapa? Karena konsep yang menyamakan kesehatan dengan manusia, maka banyak persepsi lebih cenderung menyebut tanah subur adalah tanah sehat.
Tanah di Pulau Jawa relatif subur karena mendapat limpahan abu vulkanik. Sebaliknya, tanah di wilayah lain yang tidak terpengaruh aktivitas vulkanik cenderung tidak subur karena pelapukan dan pencucian alami yang berlangsung lama. Namun, hal ini tidak berarti tanah tersebut tidak sehat.
Konsep kesehatan tanah telah menumbuhkan kepedulian dan rasa ingin merawat tanah. Namun, fokus pada kesehatan tanah tidak dapat berjalan tanpa ada kemauan, pendidikan, dan peraturan yang menjaga kesinambungan tanah.
Agar tanah dapat benar-benar dapat dijaga dan dilindungi, sangat penting untuk mengintegrasikan konsep kesehatan tanah ke dalam kerangka kerja yang lebih luas, yaitu ketahanan tanah (soil security).
Soil security berarti pemeliharaan dan peningkatan sumber daya tanah sehingga dapat menghasilkan pangan, air, dan keragaman hayati, berkontribusi pada keberlanjutan ekosistem.
Pada konteks tersebut, kesehatan tanah merupakan kondisi tanah yang dapat mendukung soil security untuk keberlanjutan ekosistem termasuk kehidupan manusia di atasnya.
*) Penulis adalah Profesor Ilmu Tanah dan Lingkungan Sydney University.
Copyright © ANTARA 2025