Bogor, Jawa Barat (ANTARA) - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengusulkan penerapan Domestic Market Obligation (DMO), pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT), serta subsidi gas industri melalui Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) guna memperkuat kontribusi sektor aluminium terhadap ekonomi nasional.
Ketua Tim Kinerja Industri Logam Bukan Besi Kemenperin Yosef Danianta Kurniawan di Bogor, Jawa Barat, Jumat, menyatakan untuk dorongan kebijakan HGBT dibutuhkan guna menekan biaya energi yang menjadi salah satu komponen terbesar dalam proses produksi aluminium.
Pemanfaatan HGBT akan membantu meningkatkan efisiensi biaya produksi sehingga produk aluminium nasional mampu diserap oleh industri hilir, serta mampu bersaing lebih kuat di pasar global.
“Harapannya bisa diperluas ke sektor nonbaja khususnya aluminium, sehingga bisa menurunkan biaya produksi dan dampaknya bisa meningkatkan daya saing,” ucap dia.
Kemenperin juga mendorong industri aluminium bergerak menuju pemanfaatan EBT agar sejalan dengan tren global yang menuntut produk aluminium hijau.
Untuk usulan kebijakan DMO, kata dia dibutuhkan dalam rangka memperkuat ketersediaan bahan baku alumina. Kebijakan ini akan memastikan pasokan bagi industri smelter aluminium di dalam negeri terpenuhi, sehingga kapasitas produksi nasional dapat dioptimalkan dan nilai tambahnya diterima di Indonesia.
Melalui kebijakan ini, Kemenperin berharap industri hilir memperoleh pasokan yang stabil sehingga mampu meningkatkan daya saing produk akhir.
“Harga yang kompetitif dan pasokan domestik yang semakin kuat merupakan kombinasi ideal untuk mempercepat pertumbuhan industri hilir Indonesia. Ini momentum besar bagi pengembangan produk turunan seperti panel surya, komponen otomotif, hingga berbagai aplikasi industri maju,” ujar Yosef.
Data Kemenperin mencatat bahwa Januari hingga Agustus 2025, ekspor alumina mencapai 3,66 juta ton, mendekati pencapaian tahun sebelumnya, dengan impor turun menjadi 816 ribu ton.
Penurunan impor ini mencerminkan mulai berperannya PT Borneo Alumina Indonesia sebagai sumber bahan baku alumina PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) yang merupakan perusahaan milik negara.
Peningkatan kapasitas produksi nasional juga terlihat dari kinerja smelter aluminium dan refinery alumina. Hingga pertengahan 2025, total hasil refinery mencapai 2,01 juta ton alumina, sementara smelter aluminium menghasilkan 352 ribu ton aluminium primer, dengan utilisasi mendekati 91 persen untuk smelter aluminium dan 64 persen untuk refinery alumina.
Perkiraan global dari lembaga internasional menunjukkan bahwa harga aluminium pada 2026 relatif stabil, berada di kisaran 2.200 per ton, ditopang meningkatnya permintaan dari sektor kendaraan listrik (EV), energi terbarukan, dan otomotif global.
Sementara itu, Direktur Pengembangan Usaha Inalum Arif Haendra menyatakan Indonesia berada pada momentum penting untuk membangun industri aluminium yang terintegrasi dari hulu hingga hilir.
Ia menjelaskan bahwa sejak tahun 2018 hingga 2024 kebutuhan aluminium nasional masih sangat bergantung pada pasokan impor yang mencapai 54 persen, sementara kontribusi Inalum baru berada di level 46 persen.
Ketergantungan ini dinilai tidak ideal, terutama karena aluminium merupakan bahan baku strategis untuk berbagai sektor industri masa depan.
Baca juga: Komisi VII perdalam strategi Ditjen IKMA guna perkuat daya saing
Baca juga: Komisi VII minta Ditjen IKFT bangun ekosistem hilirisasi bahan baku
Baca juga: Kemenperin perkuat kerja sama kembangkan AI pacu digitalisasi industri
Pewarta: Ahmad Muzdaffar Fauzan
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































