Jakarta (ANTARA) - Kementerian Perdagangan mengungkapkan bahwa banyak negara menunjukkan minat besar untuk menjalin kemitraan melalui skema perjanjian perdagangan bebas (free trade agreement/FTA) dengan Indonesia.
Namun, menurut Kepala Pusat Kebijakan Perdagangan Internasional Kemendag Olvy Andrianita, perjanjian perdagangan bebas saat ini tidak lagi sekadar soal penurunan tarif atau akses pasar.
“Payung negosiasinya kini meluas, tak cuma akses pasar dan tarif, tetapi juga dikaitkan dengan isu lingkungan, keberlanjutan, ketertelurusuran produk (traceability), hingga zero emission,” katanya dalam acara Climate Solutions Partnership di Jakarta, Kamis.
Merespons tren ini, Olvy mengatakan bahwa Indonesia pun dituntut untuk mengimplementasikan kebijakan yang lebih adaptif, modern, dan selaras dengan standar internasional.
Baca juga: Mendag: IEU CEPA dan FTA RI dengan Eropa dan Eurasia tuntas pada 2025
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa selain FTA, Indonesia secara aktif terlibat dalam berbagai perundingan dagang lainnya, seperti Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif (CEPA), Perjanjian Perdagangan Preferensial (PTA), hingga Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP).
Ia menyebut salah satu fokus utama negosiasi adalah memperjuangkan instrumen trade and sustainable development agar produk ekspor Indonesia menjadi garda terdepan dalam rantai perdagangan global yang ramah lingkungan, berkelanjutan, dapat tertelusur, dan tidak merusak ekosistem.
Olvy menyampaikan Kemendag memberikan dukungan penuh dalam segala aspek, mulai dari program perundingan hingga promosi perdagangan.
Promosi kini tak hanya berfokus pada produknya, tetapi juga pada aspek keberlanjutan dan ramah lingkungan dari produk tersebut.
Baca juga: Airlangga optimistis perundingan Indonesia-EAUE FTA rampung tahun ini
Contohnya, promosi sawit yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, serta komitmen menuju zero emission. Hal serupa berlaku untuk kopi, kakao, dan perikanan yang dihasilkan tanpa merusak lingkungan.
Sebagai langkah konkret, Kemendag melalui Bappebti, baru-baru ini meluncurkan renewable energy certificate (REC), yang merupakan bagian dari program besar kementerian yang diharapkan dapat didukung penuh oleh seluruh pelaku usaha, terutama dalam partisipasi aktif di REC.
Sertifikat ini, menurut dia, nantinya akan menjadi laporan penting kepada Uni Eropa (EU) yang memberlakukan kebijakan ketat seperti European Union Deforestation Regulation (EUDR) dan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) sebagai syarat masuk pasar mereka.
“Pemerintah Indonesia sudah mengarah kepada kebijakan yang lebih baik. Begitu juga untuk peraturan-peraturan menteri perdagangan yang berkaitan dengan impor dan ekspor, ini arahnya nanti ke arah yang ramah lingkungan, sustainable, dan juga pro kepada zero emission,” pungkasnya.
Baca juga: Peningkatan FTA China-ASEAN jadi pendorong baru kemakmuran regional
Berdasarkan catatan Kemendag, hingga saat ini Indonesia telah memiliki 11 perjanjian bilateral, 17 perjanjian masih dalam tahap negosiasi, 13 lagi dalam tahap awal penjajakan, dan 27 perjanjian lainnya sedang dalam proses untuk dapat diberlakukan secara resmi.
Pewarta: Shofi Ayudiana
Editor: Abdul Hakim Muhiddin
Copyright © ANTARA 2025