Jakarta (ANTARA) - Pasca runtuhnya rezim Bashar Al-Assad pada 8 Desember 2024 yang lalu, nama Abu Muhammed Al-Golani mencuat ke publik dan dianggap sebagai calon pemimpin baru Suriah.
Siapa kah Abu Muhammed Al-Golani?
Memiliki nama asli Ahmed Husseuin Al-Sharaa. Ia lahir di Riyadh, Arab Saudi tahun 1982 saat ayahnya bekerja sebagai insinyur perminyakan di sana.
Al-Golani dan keluarganya kemudian kembali ke Suriah pada tahun 1989, dan menetap di dekat Kota Damaskus. Selama tinggal di Damaskus, tidak banyak informasi yang diketahui tentang dirinya.
Barulah pada 2003, Al-Golani hijrah ke Irak dan memutuskan bergabung bersama Al-Qaeda untuk menjadi bagian dalam perlawanan terhadap invasi Amerika Serikat di tanah timur tengah.
Saat ini, Al-Golani dikenal sebagai sosok sentral di balik pemberontakan yang berhasil menggulingkan Presiden Bashar Al-Assad di Suriah.
Baca juga: Lebih dari 50.000 warga Suriah selamatkan diri ke Lebanon
Sebagai pemimpin kelompok Hayat Tahrir al-Sham (HTS), ia memimpin perjuangan panjang dari perlawanan ekstremis hingga merancang narasi baru sebagai seorang pembangun negara yang pluralis dan toleran.
Dengan latar belakang yang kompleks, Al-Golani kini menghadapi tantangan untuk membuktikan transformasi dirinya sebagai pemimpin baru Suriah.
Dari ekstremis ke pemimpin revolusi
Al-Golani memulai perjalanan radikalnya pada tahun 2003 di Irak. Saat itu, ia bergabung dengan kelompok pemberontak melawan pasukan Amerika Serikat.
Selama masa tersebut, ia menjalin hubungan dengan Al-Qaeda dan menjadi bagian dari pembentukan kelompok Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) yang dipimpin Abu Bakr Al-Baghdadi.
Pada 2011, ketika revolusi melawan rezim Assad dimulai di Suriah, Al-Golani dikirim oleh Al-Baghdadi untuk mendirikan cabang Al-Qaeda di Suriah yang dikenal sebagai Jabhat al-Nusra.
Meskipun Jabhat al-Nusra dianggap sebagai organisasi teroris oleh Amerika Serikat, kelompok ini memainkan peran penting dalam konflik Suriah. Namun, ambisi Al-Golani untuk memimpin dan membentuk jalannya sendiri membawanya pada konflik dengan Al-Baghdadi.
Pada 2016, Al-Golani mengambil langkah besar dengan memutus hubungan resmi kelompoknya dengan Al-Qaeda dan mengganti nama Jabhat al-Nusra menjadi Jabhat Fateh al-Sham (Front Penaklukan Suriah). Langkah ini membuka jalan bagi konsolidasi kekuasaannya atas kelompok-kelompok militan yang terpecah di Suriah.
Setahun kemudian, ia kembali melakukan rebranding dengan membentuk Hayat Tahrir al-Sham (HTS), sebuah aliansi kelompok pemberontak yang mengukuhkan posisinya sebagai kekuatan dominan di wilayah Idlib, Suriah barat laut.
Al-Golani juga mengeliminasi saingan dan mantan sekutunya di antara kelompok-kelompok ekstremis. Hal ini memperkuat cengkeramannya atas Idlib yang menjadi pusat kekuatan HTS.
Dalam upayanya untuk mendapatkan legitimasi internasional, ia mendirikan "pemerintahan penyelamatan" de facto di Idlib dan memproyeksikan citra sebagai pemimpin yang mampu membangun institusi negara.
Dalam beberapa tahun terakhir, Al-Golani telah berusaha mengubah citra dirinya dari seorang militan garis keras menjadi seorang pemimpin politik yang moderat.
Ia meninggalkan pakaian militernya dan memilih mengenakan jas dalam wawancara-wawancara media, termasuk dengan jaringan berita Barat seperti CNN dan PBS.
Dalam wawancara tersebut, ia berbicara tentang pentingnya toleransi beragama dan pluralisme di Suriah.
Al-Golani juga menunjukkan gestur simbolis untuk merangkul kelompok minoritas. Ia mengunjungi komunitas Druze di Idlib dan keluarga Kurdi yang terdampak konflik.
Dalam wawancara dengan PBS pada 2021, ia menyatakan bahwa HTS tidak memiliki niat untuk menyerang Barat, meskipun Amerika Serikat masih menganggap kelompoknya sebagai organisasi teroris dan memberikan hadiah $10 juta bagi siapa saja yang dapat memberikan informasi tentangnya.
Setelah keberhasilan pasukannya merebut Damaskus dan membuat Bashar Al-Assad melarikan diri ke Russia, Al-Golani kini menghadapi tantangan besar dalam membuktikan kemampuannya untuk memimpin negara yang terfragmentasi oleh konflik sektarian, etnis, dan kepentingan internasional.
Dalam pidatonya di Masjid Umayyah, ia menyebut kejatuhan Assad sebagai "kemenangan bagi umat Islam," tetapi ia juga menegaskan bahwa Suriah adalah milik semua rakyatnya, terlepas dari latar belakang agama atau etnis mereka.
Suriah yang terdiri dari berbagai komunitas etnis dan agama, telah lama menjadi arena persaingan kepentingan asing, termasuk Rusia, Iran, Amerika Serikat, Turki, hingga Israel.
Sebagai pemimpin, Al-Golani harus mampu menjembatani perpecahan internal ini sembari menjaga stabilitas di tengah tekanan internasional.
Dalam wawancara terakhirnya, Al-Golani menyatakan kesiapannya untuk membubarkan HTS setelah tercapainya transisi kekuasaan di Suriah.
Ia juga menyerukan desentralisasi kekuasaan untuk mencerminkan keragaman Suriah. Namun, skeptisisme tetap tinggi, baik dari komunitas internasional maupun dari kelompok-kelompok minoritas di dalam negeri yang masih mengingat catatan masa lalunya sebagai seorang ekstremis.
Dengan latar belakang yang penuh dinamika, perjalanan Al-Golani dari seorang jihadis ekstremis menjadi pemimpin revolusi adalah salah satu transformasi yang paling mencolok dalam sejarah modern Timur Tengah.
Kini, masa depan Suriah berada di tangan seorang pria yang harus membuktikan bahwa perubahan yang ia klaim bukan sekadar retorika, tetapi sebuah kenyataan yang dapat membawa perdamaian dan stabilitas bagi negara yang telah hancur oleh perang selama lebih dari satu dekade.
Baca juga: Waka Komisi I minta KBRI Damaskus pastikan WNI segera dievakuasi
Baca juga: Legislator minta keamanan WNI di Suriah jadi prioritas
Pewarta: Raihan Fadilah
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2024