Jakarta (ANTARA) - Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) mengatakan, Astacita bagus untuk mensejahterakan rakyat, sayangnya sejak dini, anak-anak diracuni produk tembakau yang dipromosikan berbagai pihak, sehingga perlu implementasi PP 28/2024 dalam upaya meningkatkan kualitas generasi muda.
Dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat, Ketua Tobacco Control Support Center (TCSC) IAKMI Sumarjati Arjoso mengatakan, implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksana UU 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dapat memastikan generasi muda menjadi produktif, hidup dalam lingkungan bersih dan terhindar dari berbagai penyakit akibat merokok.
"Generasi Muda Tanpa Rokok bersama Makan Bergizi Gratis dapat menjadi Gerakan Menuju Indonesia Maju, Indonesia Emas. Kiranya Bapak Presiden mendukung pelaksanaan atau implementasi PP 28/2024 Bagian Pengamanan Zat Adiktif guna mencapai Asta Cita,” kata Sumarjati.
Dia menjelaskan, sejak disahkan pada 26 Juni 2024, peraturan ini belum juga diterapkan. Dia pun menyoroti perlunya kewaspadaan terhadap desakan dari pihak-pihak yang hanya mengutamakan kepentingan bisnisnya dan berusaha melakukan intervensi agar Pemerintah menunda bahkan membatalkan implementasi PP 28/2024 tanpa memikirkan dampaknya kepada kesehatan, ekonomi, dan sosial masyarakat.
Beberapa perubahan aturan yang semakin kuat untuk perlindungan masyarakat, katanya, seperti ukuran peringatan kesehatan bergambar lebih luas menjadi 50 persen, aturan pembatasan penjualan untuk menekan kemudahan akses, dan larangan iklan rokok di media sosial untuk menjauhkan anak-anak dan remaja dari iklan tersebut.
Baca juga: Kemenkes: Belanja rokok di keluarga tiga kali lebih tinggi dari telur
Baca juga: Kampanye anti rokok bisa jadi salah satu cara cegah remaja merokok
Menurutnya, pengaturan terhadap rokok yang semakin kuat dan komprehensif ini sangat mendesak segera bisa diimplementasikan mengingat prevalensi perokok di Indonesia masih yang tertinggi di dunia.
Mengutip Global Adult Tobacco Survey (GATS) tahun 2021, katanya, sebanyak 35,5 persen penduduk Indonesia adalah perokok. Sementara itu, Survei Kesehatan Indonesia 2023 menunjukkan jumlah perokok aktif mencapai 70 juta orang, dengan perokok usia pelajar 10-18 tahun sebesar 7,4 persen.
Sumarjati menambahkan, belanja rokok masyarakat memperburuk taraf sosial-ekonomi keluarga Indonesia, khususnya keluarga miskin. Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2021, belanja rokok masih menjadi pengeluaran tertinggi rumah tangga miskin di perkotaan dan perdesaan setelah konsumsi beras.
"Dilihat dari total pengeluaran, konsumsi rokok mencapai 11,9 persen di perkotaan dan 11,24 persen di pedesaan. Angka tersebut merupakan pengeluaran kedua terbesar setelah beras, serta lebih tinggi dari pengeluaran untuk protein seperti daging, telur, tempe, dan ikan," katanya.
Selain itu, katanya, menurut Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia, 2023, 1 persen peningkatan belanja rokok meningkatkan potensi kemiskinan rumah tangga sebesar 6 persen.
Oleh karena itu, pihaknya beserta sejumlah organisasi masyarakat sipil yang peduli dengan pengendalian konsumsi produk zat adiktif, produk tembakau dan rokok elektronik, menyampaikan dukungan kepada Presiden Prabowo Subianto untuk dapat segera mengimplementasikan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 Bagian Pengamanan Zat Adiktif demi mengoptimalkan upaya pengendalian konsumsi produk tembakau dan rokok elektronik di Indonesia.
Baca juga: IYCTC desak pemerintah implementasikan PP 28/2024, kendalikan tembakau
Baca juga: GAPPRI: PP 28/2024 sarat agenda FCTC ancam kedaulatan ekonomi
Baca juga: 28 organisasi desak implementasi pengendalian tembakau pada PP 28/2024
Pewarta: Mecca Yumna Ning Prisie
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2025