Hari Anak Nasional: literasi digital sejak dini, bukan sekadar ngonten

2 months ago 20

Jakarta (ANTARA) - Awal pekan ini anak-anak kembali masuk sekolah. Setelah libur panjang, banyak orang tua berbagi cerita tentang kegiatan liburan anak-anak.

Di media sosial, tidak sedikit orang tua yang mengunggah partisipasi si anak ikut bootcamp kekinian: pelatihan menjadi YouTuber cilik, content creator, vlogger, atau editor video.

Usia peserta pelatihan-pelatihan ini makin muda, mulai dari 8–9 tahun, tergolong anak-anak. Harga pelatihan berkisar dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Pelatihan diselenggarakan sekitar dua hari sampai satu minggu, secara daring ataupun luring.

Pelatihan untuk anak-anak semacam ini tampak keren, modern, dan menjanjikan, namun benarkah itu sudah cukup?

Kita perlu bertanya, apakah keterampilan teknis yang diajarkan dalam pelatihan-pelatihan untuk anak-anak tersebut sudah dibarengi dengan pemahaman yang utuh tentang dunia digital? Apakah anak-anak diajak mengenali bahaya di balik layar? Apakah mereka diajarkan membedakan informasi dan disinformasi? Apakah literasi media menjadi bagian dari pelatihan, atau justru dilupakan?

Di sinilah pentingnya memahami bahwa keterampilan digital berbeda dengan literasi digital, dan kita perlu membedah apa makna sebenarnya dari literasi ini.

Pada mulanya, literasi adalah perkara sederhana, yakni bisa membaca dan menulis. Bahkan, di masa awal, pelajaran literasi dimulai dari hal seremeh kemampuan membuat tanda tangan.

Lambat laun, maknanya berkembang. Pada 1970-an, literasi menjadi lebih fungsional, yakni kemampuan membaca dan menulis yang langsung digunakan untuk memberdayakan diri dalam kehidupan bermasyarakat.

Memasuki 1980-an, era determinisme teknologi mulai menggeser makna literasi. Tidak hanya huruf dan kata, tapi literasi juga mencakup pemahaman atas simbol, gambar, hingga video. Ini dikenal sebagai era new literacy studies, ketika kemampuan literasi diartikan sebagai kecakapan mengakses dan menginterpretasi beragam jenis teks, sebagai akibat dari kemajuan teknologi.

Tahun 1990-an, literasi mengambil peran baru sebagai tolok ukur daya saing. Di banyak negara, termasuk Indonesia, literasi mulai dikaitkan dengan kualitas sumber daya manusia dalam mendukung pertumbuhan ekonomi. Artinya, kemampuan berliterasi menjadi ukuran penting dalam peningkatan kualitas tenaga kerja.

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |