Jakarta (ANTARA) - Lonceng peringatan berdentang keras dari insiden di SMAN 72 Jakarta. Pada Jumat, 7 November 2025, sekolah tersebut diguncang oleh ledakan bom rakitan di musala sekolah, saat Shalat Jumat berlangsung.
Aksi yang diduga dilakukan salah satu siswa kelas 12 di sekolah itu menyebabkan puluhan orang terluka.
Reaksi publik dan negara pun bisa ditebak: kepanikan moral instan. Perhatian langsung tertuju pada game online.
Wacana pembatasan game seperti PUBG segera mengemuka, direspons berbagai pihak, hingga Presiden Prabowo. Ini refleks klasik: mencari "monster" digital yang mudah disalahkan atas kegagalan sistemik.
Namun, fokus pada satu game adalah fantasi regulasi yang berbahaya karena mengabaikan akar masalah. Akarnya adalah gawai (telepon seluler pintar), yang telah menjadi bilik pelarian utama.
Bagi masyarakat kita, gawai telanjur menjelma menjadi katarsis digital. Gawai telah menjadi pelampiasan termudah dari kebosanan, hingga tekanan akademis, namun kerap bersifat destruktif.
Alih-alih menjadi sarana pelepasan emosi sehat, gawai menjadi gerbang radikalisasi ide dan kekerasan.
Tragedi SMAN 72 tidak lahir dari ruang hampa. Terduga pelaku ditengarai mengakses tutorial untuk membuat barang berbahaya, bukan hanya bermain game. Ia dipupuk di bilik privat layar HP.
Membatasi PUBG tidak serta-merta menyelesaikan masalah ini. Anak-anak bisa saja mengakses Telegram, forum gelap, atau YouTube dan terpapar konten berbahaya bila tak ada upaya mengembangkan literasi digital dengan segera.
Absennya orang tua
Masalah mendasar terletak pada pergeseran fungsi gawai di keluarga Indonesia.
Kita memberikan ruang sebebas-bebasnya bagi anak, tanpa pengawasan memadai. Gawai diberikan, bukan untuk edukasi, melainkan sebagai "dot digital”, sebagai alat penenang agar anak diam dan orang tua bisa melanjutkan aktivitas.
Keyakinan ini mengukuhkan gawai sekadar sebagai medium hiburan. Kita lebih khawatir anak ketinggalan tren game daripada informasi krusial. Padahal, di ekosistem hiburan itulah predator digital dan perundungan siber mengintai.
Di sinilah fungsi fundamental orang tua sebagai penjaga gawang utama seharusnya berjalan. Ini bukan sekadar membelikan gawai dan membayar kuota. Tanggung jawab mereka adalah mengatur, menyaring, dan terpenting: mendampingi.
Literasi digital bukanlah kemampuan teknis mengoperasikan aplikasi, tapi kemampuan kritis memilah konten dan memahami konsekuensinya di dunia nyata.
Pentingnya peran keluarga ini telah terkonfirmasi oleh berbagai kajian. Sebagai contoh, riset "Kajian dampak penggunaan media sosial bagi anak dan remaja" yang dilakukan oleh Endah Triastuti dkk (2017) dari Pusat Kajian Komunikasi FISIP UI. Studi tersebut menunjukkan bahwa anak-anak yang tidak mendapatkan pendampingan aktif (literasi digital keluarga) memiliki kerentanan lebih tinggi terhadap konten negatif, kecanduan, dan perundungan siber.
Keberhasilan literasi digital anak, menurut riset ini, tidak diukur dari kemahiran teknis, melainkan dari kemampuan bersikap kritis dan berani melaporkan konten negatif, sebuah resiliensi yang hampir seluruhnya dibentuk oleh pola asuh dan dialog di rumah.
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































