Dinamika moneter sepanjang 2024, sebuah ikhtisar

1 month ago 12

Jakarta (ANTARA) - Awal tahun ini dibuka dengan masih berlanjutnya era suku bunga tinggi, melanjutkan dari tren tahun sebelumnya. Suku bunga acuan Amerika Serikat (AS) atau Federal Funds Rate (FFR), yang menjadi acuan kebijakan moneter dunia, tetap bertengger di kisaran 5,25-5,50 persen sejak Juli 2023.

Sebelumnya, suku bunga AS tercatat terus naik sejak 2022, dari 0,25-0,50 persen pada Februari 2022 hingga puncaknya menjadi di kisaran 5,25-5,50 persen pada Juli 2023.

Pada triwulan pertama, pasar global dikejutkan dengan inflasi AS yang meningkat selama Januari-Maret 2024. Di samping itu, tingkat pengangguran AS juga meningkat menjadi 3,9 persen pada Februari 2024 dari 3,7 persen pada bulan sebelumnya. Kondisi ini mendorong sentimen pemangkasan suku bunga AS mundur dari perkiraan sebelumnya yang semula diekspektasikan terjadi pada Juni 2024.

Di tengah suku bunga yang masih tinggi dengan ekspektasi higher for longer, indeks dolar AS menguat secara global selama paruh pertama 2024. Indeks dolar AS bahkan menyentuh di atas 106 pada April 2024. Faktor ketidakpastian geopolitik di Timur Tengah juga turut meningkatkan sentimen risk-off, yang selanjutnya meningkatkan permintaan dolar AS.

Sejalan dengan tren indeks dolar AS, imbal hasil US Treasury tenor 10 tahun berada di posisi yang tinggi atau bergerak di atas 4 persen sepanjang semester I 2024, didorong kekhawatiran inflasi yang terus-menerus dan ekspektasi suku bunga AS yang lebih tinggi.

Dalam hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang diadakan setiap bulan, Bank Indonesia (BI) sepanjang paruh pertama 2024 hampir selalu menggarisbawahi mengenai ketidakpastian pasar keuangan global yang tinggi. Kondisi ini, ditambah ketegangan geopolitik, mengakibatkan aliran modal ke negara berkembang relatif terbatas.

Rupiah tercatat mengalami depresiasi pada paruh pertama tahun ini, dipicu pergeseran ekspektasi pemangkasan suku bunga AS dan meningkatnya ketegangan geopolitik di Timur Tengah. Rupiah mencapai titik terlemahnya sejak April 2024 dan puncaknya pada pertengahan Juni 2024. Pada akhir paruh pertama, rupiah telah terdepresiasi ke kisaran Rp16.100-16.500 per dolar AS.

Rupiah yang terdepresiasi mendorong BI untuk menaikkan suku bunga acuan pada April 2024 sebesar 25 bps menjadi 6,25 persen. Sebelumnya, BI telah menahan suku bunga 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) atau BI-Rate 6 persen sejak Oktober 2023. Namun, tekanan eksternal tampaknya cukup kuat, sehingga rupiah sempat terapresiasi pada Mei dan kembali terdepresiasi pada Juni 2024.

Perubahan jelang akhir tahun

Memasuki triwulan III 2024, imbal hasil US Treasury perlahan turun di bawah 4 persen seiring dengan sinyal kebijakan moneter bank sentral AS atau The Fed yang lebih dovish. Di sisi lain, indeks dolar AS juga mulai melemah saat memasuki triwulan III tahun ini.

The Fed akhirnya melakukan perubahan kebijakan yang signifikan pada September 2024 dengan memangkas suku bunganya menjadi ke kisaran 4,75-5,00 persen, turun sebesar 50 bps.

Pemangkasan ini sejalan dengan tren disinflasi selama beberapa bulan sebelumnya. Inflasi AS turun menjadi 2,5 persen pada Agustus 2024, dari 2,9 persen pada Juli 2024. Di sisi lain, tingkat pengangguran juga sedikit membaik menjadi 4,2 persen pada Agustus 2024 dari 4,3 persen pada bulan sebelumnya.

Tren rupiah pun berbalik saat memasuki triwulan III 2024, didorong oleh data ekonomi AS, khususnya inflasi, yang melemah lebih dari yang diperkirakan. Pasca-pemotongan suku bunga AS, yang juga dibarengi pemotongan BI-Rate, rupiah kembali menguat ke kisaran Rp15.100 per dolar AS pada akhir September 2024. Indeks dolar AS juga melemah, bahkan berada di kisaran 101.

Suku bunga BI-Rate turun sebesar 25 bps menjadi 6,00 persen pada September. Namun, pemangkasan ini dilakukan satu hari lebih cepat dari The Fed—mengindikasikan bahwa BI tidak sepenuhnya bergantung pada kebijakan The Fed.

Menurut BI, keputusan menurunkan BI-Rate konsisten dengan tetap rendahnya prakiraan inflasi pada tahun 2024 dan 2025 yang terkendali dalam sasaran 2,5±1 persen, penguatan dan stabilitas nilai tukar rupiah, dan perlunya upaya untuk memperkuat pertumbuhan ekonomi.

Melonggarnya kebijakan moneter negara maju, juga ditunjukkan dengan penurunan suku bunga bank sentral di beberapa negara lainnya, mendorong semakin meredanya ketidakpastian pasar keuangan global dan meningkatkan aliran masuk modal asing ke negara berkembang, termasuk Indonesia.

Namun sayangnya, optimisme ini tidak bertahan lama. Ketidakpastian pasar keuangan global kembali meningkat. Pada triwulan IV 2024, rupiah kembali melemah yang didorong oleh sentimen global, termasuk meningkatnya ketegangan di Timur Tengah.

Sementara itu, tingkat pengangguran di AS menunjukkan perbaikan. Ketahanan indikator ekonomi AS mengisyaratkan kemungkinan pemangkasan FFR yang kurang agresif. Sejalan dengan itu, imbal hasil US Treasury kembali meningkat dan indeks dolar AS menguat.

Ditambah lagi, faktor perkembangan politik di AS dimulai dari hari pemungutan suara hingga pengumuman terpilihnya Donald Trump sebagai presiden di negara tersebut untuk periode 2025-2029, turut berkontribusi pada sentimen risk-off pada triwulan IV 2024. Perubahan politik di AS juga mendorong berbaliknya preferensi investor global dengan memindahkan alokasi portofolionya kembali ke AS.

Menjelang akhir tahun, The Fed menurunkan suku bunganya secara bertahap sebanyak dua kali masing-masing 25 bps, menjadi ke kisaran 4,50-4,75 persen pada November 2024 dan 4,25-4,50 persen pada Desember 2024. Pemangkasan yang tidak seagresif dibandingkan sebelumnya ini sesuai dengan perkiraan pasar.

Sejak beberapa bulan terakhir, inflasi domestik menunjukkan tren penurunan yang semakin mendekati batas bawah target inflasi BI. Meskipun terdapat ruang bagi BI untuk memotong suku bunga acuan, rupiah terdepresiasi cukup signifikan.

Maka BI memutuskan untuk tetap mempertahankan suku bunga acuannya di level 6 persen hingga Desember 2024. Fokus kebijakan moneter pun diarahkan untuk memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah, mengingat semakin tingginya ketidakpastian perekonomian global.

Nilai tukar rupiah pada Desember 2024 (hingga 17 Desember 2024) tercatat melemah sebesar 1,37 persen point to point (ptp) dari bulan sebelumnya. BI mencatat, secara umum pelemahan nilai tukar rupiah tetap terkendali, yang jika dibandingkan dengan level akhir Desember 2023 tercatat depresiasi sebesar 4,16 persen.

BI memperkirakan nilai tukar rupiah tetap stabil, didukung komitmen bank sentral dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, imbal hasil yang menarik, inflasi yang rendah, dan prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tetap baik.

Bank sentral juga menyampaikan, seluruh instrumen moneter akan terus dioptimalkan, termasuk penguatan strategi operasi moneter pro-market melalui optimalisasi instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI), dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI), untuk memperkuat efektivitas kebijakan dalam menarik aliran masuk investasi portofolio asing dan mendukung penguatan nilai tukar rupiah.

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024

Read Entire Article
Rakyat news | | | |