Jakarta (ANTARA) - Di pusat Kota Sapporo, terdapat gedung ikonik berwarna merah bergaya arsitektur neo-baroque Amerika bekas kantor Pemerintah Hokkaido yang terkenal dan menjadi salah satu tujuan kunjungan wisatawan.
Berseberangan dengan gedung yang mencolok yang disebut Red Brick House itu, terdapat gedung berbentuk kotak berwarna abu-abu yang merupakan gedung parlemen prefektur Hokkaido atau Hokkaido Legislative Assembly.
Lembaga legislatif Hokkaido terbentuk pada 1901 dan telah mengalami perjalanan panjang dalam menjalankan demokrasi di Jepang.
Gedung para wakil rakyat di daerah paling besar dan utara Jepang itu terbuka bagi masyarakat yang ingin berkunjung untuk sekadar mengisi waktu, berdiskusi maupun melihat jalannya proses pengambilan keputusan. Berbeda dengan di Indonesia, gedung-gedung pemerintahan di Jepang tidak dikelilingi pagar dan amat mudah diakses.
Banyaknya fasad kaca membuat gedung terang saat siang sekaligus menunjukkan pemandangan indah gedung merah dan Gunung Okura yang dapat dinikmati sambil duduk santai di kursi-kursi yang banyak tersedia di lorong-lorong dekat kaca.

Gedung itu memiliki 12 ruang pertemuan dengan desain yang berbeda-beda, salah satunya adalah desain salju beku tergantung di atap berbentuk runcing yang sering dijumpai saat musim dingin.
Berbanding terbalik, ruang sidang utamanya bernuansa Hokkaido saat musim panas dengan dominasi kayu berwarna terang. Kepala Pengawas Sekretariat Parlemen Hokkaido Yoshida Norihito mengatakan seluruh kayu yang digunakan di bangunan tersebut berasal dari Hokkaido untuk menekan biaya pembangunan.
Sementara itu, lantai ruangan berwarna hijau seperti rumput yang menghampar di ladang-ladang di Hokkaido. Kursi di dalam ruangan tersebut memiliki bermacam-macam warna, antara lain kursi anggota parlemen seperti warna tanah dan kursi untuk masyarakat berwarna ungu seperti bunga lavender. Hokkaido terkenal memiliki banyak ladang lavender yang indah, antara lain yang terkenal adalah Timota dan Biei.
Terdapat pula kursi berwarna kuning untuk tamu dari dari luar negeri atau orang yang berkontribusi terhadap Hokkaido, kuning melambangkan jagung, salah satu produk pertanian unggulan prefektur itu. Kursi-kursi tersebut bergaya sederhana demi menekan biaya dan menghindari protes dari warga apabila dinilai menghambur-hamburkan anggaran.
Masyarakat lokal tidak perlu cemas apabila membawa bayi atau anak-anak saat ingin tetap mengikuti jalannya pembahasan isu penting di parlemen karena tersedia ruang kaca yang kedap suara dan aman untuk berjaga-jaga apabila anak menangis. Yoshida Norihito berkelakar, bahkan berkaraoke di dalam ruangan tersebut pun suaranya tidak akan terdengar dari luar.
Langit-langit ruangan memiliki berdesain tidak rata yang memiliki filosofi adanya pandangan yang berbeda-beda dari masyarakat Hokkaido. Parlemen Hokkaido berkomitmen untuk mengakomodasi ide warganya yang beraneka ragam.
Di tengah ruang terdapat batu marmer putih yang didatangkan langsung dari Yunani dan warnanya melambangkan awan.
Batu marmer putih tersebut menjadi latar belakang dari panggung yang dipakai ketua parlemen untuk berbicara. Seperti berbagai fasilitas publik lain di Jepang yang ramah terhadap penyandang disabilitas, panggung tersebut dilengkapi dengan akses untuk kursi roda, walaupun hingga hingga kini belum pernah dipakai.
Secara keseluruhan, ruang sidang utama berbentuk seperti tapal kuda. Menurut Yoshida Norihito, desain ini merupakan satu-satunya di Jepang.
Aturan di Parlemen Hokkaido
Setiap lembaga legislatif tentu memiliki aturan main yang wajib diikuti, begitu juga di Hokkaido.
Dimulai dari tempat duduk para anggota parlemen, aturannya adalah tempat duduk paling kiri untuk anggota dari fraksi terbesar di parlemen. Saat ini terdapat enam fraksi di parlemen Hokkaido. Sementara anggota yang baru terpilih duduk di paling depan dan paling sering terpilih berada di bagian belakang. Yoshida Norihito menuturkan sejauh ini anggota yang paling lama menjabat telah dipilih sebanyak 10 kali. Dengan masa jabatan tiap periode adalah empat tahun, anggota parlemen itu telah menjabat selama empat dekade.
Selanjutnya untuk sidang, dalam setahun sidang dilakukan selama 88 hari dengan masa sidang sebanyak empat kali, yakni pada Februari, Juni, September dan Desember. Sidang dilakukan pada pukul 10.00 hingga 17.00 waktu setempat, tetapi memungkinkan untuk diperpanjang waktunya apabila isu yang sedang dibahas cukup sulit dan tidak kunjung mencapai kesepakatan.
Isu penting pada 2024 antara lain alokasi dana penanggulangan pandemi, solusi harga barang yang terus meningkat dan pemindahan pembangkit listrik tenaga nuklir. Isu yang dibahas di antaranya datang dari usulan masyarakat yang telah dipilah dan paling mungkin untuk diwujudkan serta aspirasi langsung kepada anggota parlemen.
Sidang harus dihadiri lebih dari setengah total dari anggota yang saat ini berjumlah 100 orang. Apabila anggota yang hadir kurang dari setengah, maka sidang tidak dapat dilakukan, tetapi hal tersebut hampir tidak pernah terjadi. Biasanya lebih dari 90 persen anggota menghadiri sidang.
Saat berbicara, anggota parlemen yang akan menyampaikan pendapat harus maju di depan ruang sidang utama dan berdiri di mimbar, bukan berbicara dari tempat duduk. Sementara anggota parlemen lain harus menyimak dan tidak berbicara sendiri.
Ruang sidang didesain dengan struktur bangunan yang memungkinkan suara di bagian belakang bergema dan terdengar hingga ke depan, bahkan walaupun suara yang dikeluarkan hanya bisikan. Saking bagusnya inovasi desain tersebut, ruangan itu pernah dimanfaatkan untuk konser musik sebanyak dua kali.
Untuk transparansi dan akuntabilitas, sidang disiarkan secara langsung melalui kanal parlemen dan garis besar pembahasan serta anggaran yang dipakai disiarkan lewat surat kabar. Anggaran untuk parlemen Hokkaido pada 2025 sebesar tiga triliun yen. Jumlah itu turun dibandingkan saat pandemi yang mencapai 3,3 triliun yen.
Tidak hanya untuk anggota parlemen, aturan untuk masyarakat yang mengikuti sidang juga cukup ketat, seperti harus melepas topi dan jaket tebal, tidak minum, tidak boleh tidur dan tidak boleh membaca komik.
Yoshida Norihito mengatakan anggota parlemen pun tidak ada yang tertidur saat sidang. Apabila ada anggota yang tampak menunduk, diperkirakan sedang berpikir tentang isu yang sedang dibahas.
Jadi, apakah Anda menemukan kesamaan dengan di negara kita?
Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2025