Jakarta (ANTARA) - Peneliti Nasional Vaksin TB dr. Erlina Burhan mengatakan vaksin M72 berpotensi besar mempercepat eliminasi tuberkulosis, terutama pada populasi rentan, sehingga empat hal, yakni ketersediaan (availability), aksesibilitas, penerimaan publik (acceptance), dan keterjangkauan (affordability), perlu dipersiapkan.
Erlina mengatakan dalam webinar di Jakarta, Jumat, bahwa ketersediaan serta aksesibilitas, yakni kemudahan mendapatkan vaksin, perlu dilakukan melalui melalui regulasi, kesiapan sistem kesehatan, serta distribusi.
Dia juga menilai perlunya membangun respon positif dari masyarakat agar mau menerima vaksin itu.
Oleh karena itu, dia menyoroti pentingnya sosialisasi dari para ahli kesehatan, seperti Ikatan Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), guna menghindari kesalahpahaman dari publik.
"Dan juga affordability, kalau nanti di produksi dalam negeri kan juga artinya harganya akan terjangkau," katanya.
Dia menjelaskan Indonesia terlibat dalam uji klinik tahap ketiga vaksin TB M72, dengan sebanyak 2.095 orang berpartisipasi di dalamnya.
Baca juga: Ahli ingatkan strategi penanganan TB lain, sambil tunggu vaksin baru
Sejumlah keuntungan dari keikutsertaan itu, katanya, yakni Indonesia diakui kontribusinya dalam pengembangan vaksin M72, dan bila terbukti efektif, vaksin itu bisa dipakai di seluruh dunia.
"Dan juga akan ada transfer of knowledge di kalangan peneliti dan transfer of technology untuk produksi vaksin pada industri lokal, dan kemudian juga karena kita terlibat kita bisa punya posisi tawar yang lebih kuat untuk mendapatkan akses vaksin ini," dia menuturkan.
Dengan demikian, katanya, Indonesia punya peran dalam eliminasi TB pada 2030.
Sambil menunggu vaksin M72, yang diperkirakan tersedia pada 2029, dia menyebut perlunya mengoptimalkan program serta strategi penanganan lainnya yang masih ada dalam upaya penanganan penyakit itu.
Baca juga: Pemerintah komitmen hapus TBC lewat gerakan dari desa dan kelurahan
"Kita juga butuh melakukan inovasi-inovasi, termasuk berbagai temuan, baik obat yang bisa untuk pencegahan dan juga vaksinasi sebagai pencegahan, dan juga punya alat-alat diagnostik yang masuk kelompok point of care. Jadi artinya orang tidak perlu datang ke fasilitas laboratorium tapi alatnya bisa dibawa ke komunitas dan dilakukan testing pemeriksaan di komunitas," kata Erlina.
Dia menjelaskan bahwa inisiatif-inisiatif ini perlu karena dari 10,8 juta kasus TB secara global, sebanyak 10 persennya ada di Indonesia, dengan angka kematian berkisar 120 ribu-130 ribu setahun, yang berarti setiap jamnya ada 15-16 orang yang mati karena penyakit itu.
Baca juga: Kemenkes tegaskan penanggulangan TBC fokus pada pendekatan holistik
Baca juga: Kemenkeu beri catatan terkait penanganan tuberkulosis di Indonesia
Pewarta: Mecca Yumna Ning Prisie
Editor: Indra Gultom
Copyright © ANTARA 2025