Beijing (ANTARA) - Tim ilmuwan memperingatkan ancaman merkuri yang tersembunyi akibat aktivitas manusia. Studi itu, yang baru-baru ini dipublikasikan dalam jurnal Nature Sustainability, dipimpin oleh tim peneliti dari Universitas Peking dan berkolaborasi dengan para pakar asal Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Belanda.
Merkuri merupakan polutan global yang sangat beracun, dapat menumpuk dalam rantai makanan, dan menimbulkan risiko yang serius terhadap kesehatan manusia. Sedimen laut telah lama dianggap sebagai lokasi penyimpanan permanen merkuri. Namun, landas kontinen, yang menyimpan jumlah merkuri terbesar di lautan, kini menghadapi risiko pelepasan merkuri yang meningkat dengan cepat.
Dengan mengembangkan kumpulan data beresolusi tinggi dan model berbasis proses yang terintegrasi, tim peneliti berhasil menghitung secara akurat kapasitas penyimpanan merkuri di landas kontinen global, dan mengungkap gangguan yang sering terjadi akibat aktivitas penggunaan pukat dasar serta proses terkait perubahan iklim.
Studi itu menunjukkan bahwa landas kontinen menyimpan hampir 1.300 ton merkuri setiap tahunnya, enam kali lipat lebih banyak dibandingkan perkiraan sebelumnya oleh Program Lingkungan Hidup Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Environment Programme).
"Landas kontinen berperan layaknya 'ginjal' di lautan, yang secara efektif menyaring merkuri beracun dari perairan dan mengurangi ancaman terhadap perikanan pesisir serta kesehatan manusia," ujar Wang Xuejun, salah satu penulis korespondensi studi tersebut.
"Namun, aktivitas penggunaan pukat dasar dan pengerukan kini bertindak seperti 'pisau bedah' yang merusak fungsi vital tersebut," katanya.
Penelitian itu juga mengukur dampak langsung aktivitas manusia. Penangkapan ikan dengan pukat dasar dan pengerukan mengganggu lebih dari 5.000 ton merkuri dalam sedimen per tahun, empat kali lipat dari jumlah yang tertimbun setiap tahunnya.
Di saat yang sama, perubahan iklim memperburuk kondisi tersebut. Peningkatan suhu mempercepat pelepasan merkuri dari sedimen. Model simulasi menunjukkan bahwa dengan suhu pemanasan global mencapai 1,5 hingga 5 derajat Celsius, pelepasan merkuri secara alami dari sedimen ke perairan dapat meningkat 6 hingga 21 persen hingga akhir abad ini.
Lautan yang lebih hangat juga dapat mempercepat penguraian materi organik dalam sedimen, sehingga mendorong pelepasan merkuri lebih lanjut. Proses ini, dikombinasikan dengan meningkatnya frekuensi peristiwa cuaca ekstrem, diperkirakan akan menyebabkan pelepasan merkuri yang lebih besar, menurut penelitian tersebut.
"Ketika kapal pukat menggaruk dasar laut, itu dapat mempercepat pelepasan merkuri historis yang telah terkubur selama puluhan bahkan ratusan tahun," kata Liu Maodian, salah satu penulis koresponden lainnya dalam studi itu. "Begitu 'merkuri warisan' ini terlepas kembali, zat tersebut dapat masuk lagi ke dalam rantai makanan dan menimbulkan risiko baru bagi lingkungan dan kesehatan."
"Melindungi penyangga merkuri di landas kontinen itu terkait erat dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB, berfungsi sebagai pelindung kesehatan manusia dan penjaga ekosistem laut," imbuh Liu.
"Hanya dengan mengintegrasikan pengelolaan merkuri, kebijakan perikanan, dan target netralitas karbon, kita dapat menjaga garis pertahanan terakhir ini," katanya.
Pewarta: Xinhua
Editor: Santoso
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.