Jakarta (ANTARA) - Swasembada pangan bukan sekadar jargon atau ambisi politik, melainkan suatu keharusan bagi bangsa yang ingin berdiri tegak di atas kaki sendiri.
Tanpa swasembada pangan yang kokoh, sulit membayangkan tercapainya ketahanan, kemandirian, apalagi kedaulatan pangan.
Inilah sebabnya, ketika Presiden Prabowo Subianto menegaskan komitmennya terhadap swasembada pangan, ia sesungguhnya sedang berbicara tentang pondasi utama bagi ketahanan nasional.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan secara jelas mengarahkan pembangunan pangan ke arah ketahanan yang kuat sebagai prasyarat kemandirian dan kedaulatan pangan.
Namun, untuk mencapai itu semua, langkah pertama yang harus ditempuh adalah swasembada pangan yang berkelanjutan.
Presiden Prabowo memahami betul bahwa tanpa produksi pangan yang cukup dan stabil, segala konsep ketahanan dan kemandirian pangan akan kehilangan pijakannya.
Sejak masa kampanye, Prabowo-Gibran telah menempatkan swasembada pangan sebagai prioritas utama.
Kini, mandat itu telah diberikan oleh rakyat. Tantangan berikutnya adalah bagaimana mewujudkan janji tersebut dalam bentuk kebijakan nyata yang terintegrasi lintas sektor.
Tidak cukup hanya menggenjot produksi, tetapi juga memastikan keberlanjutan sistem pangan dari hulu hingga hilir, termasuk penyediaan infrastruktur, akses permodalan, stabilitas harga, hingga kesejahteraan petani.
Kunci utama swasembada pangan adalah peningkatan produksi. Tanpa produksi yang cukup, mustahil berbicara soal ketahanan, kemandirian, apalagi kedaulatan pangan. Itu sebabnya, strategi peningkatan produksi menjadi langkah yang tidak bisa ditunda.
Tambahan anggaran
Pemerintah, melalui Kementerian Pertanian, telah mengusulkan tambahan anggaran sebesar Rp23,61 triliun untuk mendukung berbagai program strategis, mulai dari optimasi lahan, pencetakan sawah baru, hingga pompanisasi lahan tadah hujan.
Langkah ini perlu didukung penuh, karena tanpa tambahan investasi di sektor produksi, swasembada pangan hanya akan menjadi wacana.
Namun, produksi saja tidak cukup. Swasembada pangan adalah urusan multi-sektor yang menuntut keterlibatan berbagai pemangku kepentingan, mulai dari kementerian terkait, dunia usaha, akademisi, komunitas, hingga media.
Tanpa integrasi kebijakan lintas sektor, upaya swasembada pangan akan berjalan terseok-seok.
Salah satu contoh konkret adalah sinergi antara Kementerian Pertanian dan Kementerian Pekerjaan Umum dalam mengoptimalkan lahan pertanian dengan penyediaan infrastruktur irigasi. Jika kebijakan ini berjalan sendiri-sendiri, efektivitasnya akan berkurang drastis.
Di sisi lain, efektivitas pencapaian swasembada pangan juga bergantung pada koordinasi yang solid antara pemerintah pusat dan daerah.
Banyak program swasembada pangan yang terhambat karena ketidaksinkronan kebijakan antara pusat dan daerah. Inilah sebabnya, koordinasi teknokratik yang melibatkan Kementerian Koordinator Bidang Pangan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dan Badan Pangan Nasional menjadi sangat krusial.
Perencanaan yang matang dan berbasis data harus menjadi dasar dari setiap kebijakan, bukan sekadar intervensi jangka pendek yang bersifat reaktif.
Selain itu, perlu ada kepastian siapa yang akan menjadi ujung tombak dalam pelaksanaan kebijakan di lapangan.
Berdasarkan tugas dan fungsinya, Kementerian Pertanian memang bertanggung jawab dalam urusan produksi.
Namun, tanpa dukungan dari kementerian lain, termasuk Kementerian BUMN dalam penyediaan infrastruktur pertanian dan sistem logistik, keberhasilan swasembada pangan akan sulit dicapai.
Sinyal positif
Langkah Menteri Pertanian yang segera bertemu dengan Menteri BUMN dan Menko Bidang Pangan pun kemudian menjadi sinyal positif bahwa pemerintah serius dalam membangun koordinasi lintas sektor.
Ini menunjukkan bahwa ada niat untuk membangun ekosistem pangan yang berkelanjutan, bukan sekadar menggenjot produksi tanpa mempertimbangkan faktor-faktor lain yang juga sangat menentukan.
Pemerintah juga perlu memastikan bahwa kebijakan swasembada pangan tidak hanya berorientasi pada peningkatan produksi, tetapi juga pada kesejahteraan petani.
Tidak sedikit kebijakan pangan yang justru merugikan petani karena harga hasil panen jatuh akibat overproduksi tanpa regulasi pasar yang jelas.
Oleh karena itu, selain fokus pada produksi, pemerintah juga harus menata rantai pasok pangan agar petani mendapatkan harga yang layak dan konsumen memperoleh harga yang stabil.
Harga pangan yang stabil juga menjadi indikator penting dalam keberhasilan kebijakan swasembada pangan.
Jika harga terlalu rendah, petani enggan untuk menanam kembali pada musim berikutnya. Jika terlalu tinggi, daya beli masyarakat akan terganggu.
Di sinilah peran pemerintah dalam menjaga keseimbangan pasar agar semua pihak mendapatkan manfaat yang optimal.
Selain itu, penting juga untuk memastikan akses petani terhadap teknologi dan inovasi pertanian. Salah satu tantangan utama dalam swasembada pangan adalah masih rendahnya adopsi teknologi oleh petani, baik dalam hal pemilihan bibit unggul, mekanisasi pertanian, maupun digitalisasi rantai pasok.
Pemerintah harus memastikan bahwa teknologi yang ada bisa diakses oleh semua petani, tidak hanya mereka yang memiliki modal besar.
Jika semua elemen kebijakan ini diintegrasikan secara holistik, bukan tidak mungkin target swasembada pangan dalam tiga tahun ke depan dapat terwujud.
Presiden Prabowo telah memberikan arahan yang jelas, tinggal bagaimana eksekusinya dilakukan dengan pendekatan yang lebih teknokratis dan partisipatif.
Dengan strategi yang tepat dan dukungan dari seluruh pemangku kepentingan, swasembada pangan bukan sekadar mimpi politik, melainkan kenyataan yang bisa dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia.
Swasembada pangan adalah soal kemandirian bangsa. Jika bangsa ini serius ingin mewujudkannya, tidak ada pilihan lain selain membangun integrasi kebijakan yang solid dan eksekusi yang tepat sasaran.
Ini bukan sekadar tugas pemerintah, tetapi tanggung jawab bersama. Semoga menjadi perhatian bagi semua!
*) Penulis adalah Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat.
Copyright © ANTARA 2025