Perlindungan pesisir bukan sekadar tanggul laut raksasa

3 weeks ago 16
Pemerintah perlu mengubah narasi dari sekadar pembangunan “giant sea wall” menjadi “upaya perlindungan pesisir terpadu”

Jakarta (ANTARA) - Presiden Prabowo Subianto kembali melakukan terobosan untuk melindungi Pulau Jawa dari ancaman tenggelam.

Pemerintah berupaya melindungi kawasan pesisir pantai utara (pantura) Pulau Jawa dari ancaman banjir, abrasi, penurunan muka tanah, dan kenaikan muka air laut.

Kini memang sebagian wilayah terutama Jakarta, Semarang, Demak telah kehilangan sebagian tanah di pesisir bagian utara akibat air laut semakin masuk ke daratan. Semestinya pemerintah telah bertindak melindungi pesisir pantura Pulau Jawa sejak 10—20 tahun silam.

Prabowo lantas mengambil langkah cepat mengejar keterlambatan bertindak dengan membentuk Badan Otorita Pengelola Pantai Utara Jawa (BOPPJ) pada penghujung Agustus 2025.

Badan tersebut rencananya akan mengeksekusi gagasan pembangunan giant sea wall alias tanggul laut raksasa sebagai solusi utama. Secara filosofis upaya pemerintah melindungi pesisir pantai wajib didukung.

Namun, ketika sebagian pejabat pemerintah, media, maupun publik luas berupaya menggeser istilah BOPPJ menjadi sempit dengan menyebutnya menjadi Badan Otorita Tanggul Laut Pantai Jawa, maka harus ditolak.

Penyebutan badan otoritas sebagai lembaga khusus yang hanya menangani proyek tanggul laut raksasa hanya memperkuat kesan bahwa pemerintah berfokus pada satu pendekatan besar untuk membangun tembok raksasa menahan laut.

Gagasan ini tentu bakal memanen gelombang penolakan dari masyarakat sipil, akademisi, hingga organisasi lingkungan, terutama karena proyek tersebut dipersepsikan publik sebagai solusi tunggal yang mahal, tertutup, dan kurang memperhatikan kompleksitas kawasan pesisir Indonesia.

Persoalan melindungi pantai bukan sekadar persoalan konstruksi fisik, tetapi memerlukan kerangka pikir yang utuh dengan menghindari solusi berupa single method solution.

Indonesia memiliki garis pantai yang sangat panjang dengan karakter geomorfologi yang berbeda-beda, delta lumpur yang dinamis, pesisir berkarang, kawasan mangrove yang produktif, hingga kota-kota besar dengan penurunan tanah akibat eksploitasi air tanah.

Dengan keragaman tersebut, perlindungan pesisir mustahil dipaksakan dalam satu format raksasa yang seragam.

Pantura membutuhkan perlindungan dengan pendekatan yang memadukan rekayasa struktur, solusi berbasis alam, pengelolaan sedimen, dan tata kelola ruang secara terpadu.

Sayangnya, pesan ini sering hilang dalam debat publik karena istilah yang digunakan pemerintah justru menyempitkan makna perlindungan pesisir hanya menjadi soal tembok besar.

Negara-negara yang berhasil mengendalikan risiko pesisir seperti Belanda, Jepang, Bangladesh, atau Vietnam semuanya menerapkan coastal protection berlapis.

Negara tersebut mengombinasikan tanggul, sabuk hijau mangrove, pengaturan tata air, pemulihan lahan basah, serta manajemen pemompaan air tanah.

Baca juga: BRIN: Lindungi ekosistem pesisir Indonesia pertahankan diversitas ikan

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |