Mengatasi fenomena boros pangan

1 month ago 14

Jakarta (ANTARA) - Tradisi memberi parsel menjadi salah satu bentuk berbagi kebahagiaan yang umum dilakukan masyarakat Indonesia, termasuk menjelang perayaan Natal dan tahun baru. Bingkisan yang berisi bermacam makanan seperti kue, cokelat, makanan kaleng, sirup, dan minuman sering kali menjadi pilihan utama untuk diberikan kepada teman, keluarga, atau kerabat. Namun, di balik dari keindahan tradisi tersebut, ada sebuah fenomena yang kerap terlupakan, yaitu makanan kedaluwarsa yang terdapat dalam parsel.

Fenomena tersebut berpotensi membahayakan kesehatan penerima parsel. Oleh karena itu, inspeksi mendadak (sidak) terhadap makanan kedaluwarsa di swalayan menjadi sangat penting untuk memastikan konsumen mendapatkan produk yang aman dan berkualitas.

Pemerintah melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dinas terkait, dan lembaga lainnya gencar melakukan sidak di sejumlah daerah untuk memastikan tidak ada produk kedaluwarsa yang beredar di pasaran, terutama menjelang periode liburan seperti Natal dan tahun baru, ketika penjualan parsel dan paket makanan cenderung meningkat. Hal ini juga berlaku untuk produk-produk yang mungkin tidak berbahaya secara langsung, namun dari segi kualitas dan nilai gizi sudah menurun atau bahkan hilang karena masa simpan yang telah habis.

Selain berdampak terhadap kesehatan, fenomena makanan kedaluwarsa juga membawa dampak besar terhadap pemborosan makanan. Makanan yang mendekati tanggal kedaluwarsa sering kali tidak terjual di pasaran dan berakhir dibuang begitu saja.

Hal tersebut tentu menjadi masalah besar, mengingat bahwa sekitar sepertiga dari makanan yang diproduksi di dunia setiap tahunnya berakhir menjadi sampah, atau mencapai angka 630,96 juta ton/tahun, berdasarkan laporan United Nations Environment Programme (UNEP) tahun 2024.

Ironisnya, Indonesia menjadi salah satu negara penghasil sampah makanan terbesar di Asia Tenggara dan menduduki salah satu peringkat teratas negara dengan penghasil sampah makanan tertinggi di dunia. Merujuk pada laporan Food Waste Index Report 2024 yang dirilis oleh UNEP memperlihatkan bahwa Indonesia menghasilkan 20,93 juta ton per tahun.

Infografis kerugian ekonomi akibat pemborosan makanan berdasarkan data dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional tahun 2021. ANTARA/Keysha Anisa

Di sisi lain, pakar food loss dan keamanan pangan dari Institut Pertanian Bogor, Drajat Martianto, kepada ANTARA mengungkapkan bahwa satu dari sepuluh orang Indonesia mengalami kekurangan asupan pangan, atau hanya sekitar sepuluh persen saja masyarakat Indonesia yang asupan gizinya tercukupi. Di sisi lain, makanan yang diproduksi justru terbuang begitu saja sehingga menciptakan paradoks.

"Kami sedang melakukan beberapa kajian bersama Bappenas dan waste4change yang hasilnya besaran food loss and waste mulai dari tahun 2000 sampai 2019 angkanya cukup memprihatinkan, nilainya itu sangat besar dan kecenderungannya meningkat," kata Drajat.

Kerugian ekonomi yang ditimbulkan pun tak main-main. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional mencatat sepanjang tahun 2000–2019 angka kerugian yang ditaksir dari jumlah tersebut mencapai Rp213--Rp551 triliun per tahun atau setara 4--5 persen produk domestik bruto (PDB) Indonesia per tahun.

Adapun dampak dari sisi sosial adalah kehilangan kandungan energi yang setara dengan porsi makan 61 hingga 125 juta orang atau 29--47 persen populasi Indonesia. Oleh karena itu, perlu upaya strategis untuk mengubah perilaku konsumsi di tingkat individu.

Upaya yang harus dilakukan yakni dengan memperbaiki penanganan pascapanen dan memperbaiki sistem distribusi logistik. Kalau logistik lebih efisien maka dapat mengurangi kehilangan itu atau sama artinya dengan meningkatkan ketersediaan.

Beberapa produk mendekati masa kedaluwarsa namun masih layak konsumsi telah dikemas ke dalam dus untuk didonasikan. ANTARA/Mardiansyah Al Afghani

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024

Read Entire Article
Rakyat news | | | |