Jakarta (ANTARA) - Menteri Agama (Menag), Nasaruddin Umar mengatakan Asta Cita Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka bukan sekedar rencana politik, tapi arah moral bangsa.
“Asta Cita bukan sekadar rencana politik, tapi arah moral bangsa. Di Kementerian Agama, kami terus berupaya agar nilai agama tidak berhenti di mimbar, tetapi hidup dalam kebijakan yang memuliakan manusia,” ujar Menag dalam refleksi satu tahun perjalanan Kemenag mengawal Asta Cita di Jakarta, Selasa.
Nasaruddin Umar mengatakan setahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka menjadi momentum penting bagi Kemenag untuk menghadirkan wajah kehidupan beragama yang lebih inklusif, produktif, dan menyejahterakan.
Baca juga: Menag: LPDU akan bangkitkan potensi besar dana umat
Kemenag, kata dia, meneguhkan komitmennya untuk menerjemahkan Asta Cita ke dalam langkah nyata, seperti menjaga kerukunan yang menjadi prasyarat pembangunan, memperkuat pendidikan keagamaan, serta meningkatkan kesejahteraan guru pendidikan agama dan keagamaan.
Menurut Menag, menjaga dan merawat kerukunan menjadi fondasi utama kerja Kemenag dalam mengawal Asta Cita Presiden, terutama cita ke-8 yang menekankan pentingnya harmoni sosial, toleransi, dan kehidupan beragama yang damai.
Bagi Kemenag, kerukunan bukan hanya soal toleransi, tetapi juga syarat utama pembangunan. Karena tanpa kedamaian sosial, pembangunan tidak akan berjalan dan kokoh.
Dalam setahun terakhir, kata dia, Kemenag mengembangkan sistem dan program untuk memperkuat harmoni bangsa. Melalui aplikasi Si-Rukun (Early Warning System), potensi konflik keagamaan bisa dideteksi sejak dini di berbagai daerah.
"Penyuluh agama menjadi garda terdepan dalam mengoperasikan aplikasi ini," kata dia.
Pengembangan Si-Rukun merupakan ikhtiar bersama seluruh unit eselon I Kemenag, mulai dari Ditjen Bimas Islam, Ditjen Bimas Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, hingga Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB).
Menag menjelaskan sistem ini dibangun berdasarkan penelitian terkait peta potensi konflik keagamaan di berbagai daerah, termasuk pemetaan zona merah, kuning, dan hijau.
Untuk memperkuat kesiapan di lapangan, Kemenag telah melatih 500 penyuluh agama di KUA sebagai aktor resolusi konflik. Mereka dibekali pengetahuan dan keterampilan agar mampu melakukan deteksi dini serta penanganan cepat di wilayah dengan potensi konflik tinggi.
Selain itu, Kemenag juga membina 300 penyuluh agama dalam pemetaan masalah sosial-keagamaan, memperkuat kapasitas 600 penceramah agar berdakwah dengan pendekatan moderat dan literasi digital.
Baca juga: Kemenag pastikan dana bantuan operasional madrasah cair pekan ini
Baca juga: Menag minta kampus keagamaan hidupkan kembali ilmu-ilmu Islam klasik
Kemenag juga membina 200 dai muda untuk melahirkan generasi dai yang berwawasan moderat, adaptif, dan mandiri (dakwah kontekstual dan keterampilan entrepreneurship).
Kemenag juga menggelar Program Akademi Kepemimpinan Mahasiswa Nasional (Akminas), juga melahirkan 1.192 kader lintas agama yang dibekali semangat kepemimpinan plural dan damai.
Kemenag bahkan melakukan rekonstruksi terhadap 25 pesantren eks-Jamaah Islamiyah dengan total 5.077 santri, sebagai langkah deradikalisasi berbasis pendidikan .
“Kerukunan adalah prasyarat pembangunan. Indonesia hanya bisa maju bila umatnya damai, saling menghormati, dan memiliki kesadaran kebangsaan yang kuat,” tegas Menag.
Pewarta: Asep Firmansyah
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

















































