Memutus rantai kemiskinan di Jakarta

3 weeks ago 5

Jakarta (ANTARA) - Apakah kemiskinan dapat diwariskan? Pertanyaan ini tiba-tiba terlintas ketika menelusuri gang-gang sempit di salah satu permukiman kumuh di pinggiran Kota Jakarta.

Letak rumah-rumah penduduk yang saling berdempetan, ditambah dengan kepadatan penduduk yang sangat tinggi menjadi permasalahan yang belum terselesaikan hingga hari ini.

Selain itu, karakteristik pendidikan masyarakatnya mayoritas hanya sekolah dasar (SD) ke bawah dengan penghasilan yang tak menentu dari kerja serabutan. Banyak contoh kasus, seseorang yang menghidupi keluarganya dari kerja serabutan, anak-anaknya tidak meneruskan pendidikan dasar karena membantu orang tuanya bekerja.

Hal ini menjadi fenomena yang menarik untuk direnungkan. Pemerintah telah memberikan pendidikan gratis untuk seluruh siswa hingga jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 31 ayat 2, yang menyatakan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

Pemerintah pusat sendiri telah mengalokasikan anggaran pendidikan hingga Rp724,26 triliun dari total APBN Tahun 2025 sebesar Rp3.621,3 triliun atau sekitar 20 persen sebagai upaya mewujudkan sumber daya manusia yang unggul, inovatif, dan berdaya saing menuju Indonesia Emas 2045.

Selain itu, diharapkan dengan pendidikan yang lebih tinggi, masyarakat dapat memperoleh pekerjaan yang lebih baik.

Namun pada kenyataannya, masyarakat miskin justru menghindari pendidikan, lantas ada apa?

Sebelum mencari tahu hal tersebut, kita perlu memahami siapa masyarakat miskin ini.

Badan Pusat Statistik (BPS) telah menghitung angka kemiskinan makro sejak tahun 1976. Lewat Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), BPS mengukur kemiskinan dengan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic need approach).

Si miskin adalah ia yang memiliki pengeluaran per kapita di bawah Garis Kemiskinan (GK) baik pengeluaran makanan yang setara dengan 2100 kilo kalori maupun non-makanan. Singkatnya, mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar hidupnya.

Garis kemiskinan dihitung dari pengeluaran perkapita per bulan hasil Susenas yang dilaksanakan setiap Maret dan September di seluruh Indonesia dari level nasional hingga level kabupaten/kota.

Dengan demikian, GK setiap wilayah berbeda-beda dan berubah-ubah setiap waktu bergantung pada beberapa faktor seperti kondisi geografis, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, dan sosial budaya.

Saat ini, garis kemiskinan Jakarta sebesar Rp846.085,-/perkapita/perbulan dengan komposisi Garis Kemiskinan Makanan (GKM) sebesar Rp590.704,-/perkapita/bulan (69,82 persen) dan Garis Miskinan Non-Makanan sebesar Rp255.381/kapita/bulan (30,18 persen). Dengan rata-rata jumlah anggota rumah tangga miskin sebesar 5,01 orang, artinya jumlah rata-rata pengeluaran yang harus dikeluarkan rumah tangga miskin untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum mencapai Rp4.238.886/rumah tangga miskin/bulan.

Kemiskinan telah ada bersama kita sejak zaman dahulu. Menurut Francis A. Cizon kemiskinan saat ini berbeda dengan kemiskinan di masa lampau.

Saat ini, terdapat orang miskin yang berada di tengah-tengah orang kaya, bahkan di Tengah Pendapatan Domestik Bruto (PDB) yang kian meningkat, menurunnya Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) dan kondisi ekonomi yang relatif stabil.

Pertumbuhan ekonomi Jakarta triwulan III tahun 2024 menunjukkan kinerja yang positif yaitu 4,93 persen, sedangkan TPT sebesar 6,21 persen menurun dari tahun sebelumnya. Selain itu, jumlah sekolah negeri dengan biaya pendidikan gratis meningkat namun tidak semua anak muda memanfaatkannya.

BPS mencatat pada semester II tahun 2024 persentase penduduk miskin di DKI Jakarta sebesar 4,14 persen menurun 0,16 persen poin dibandingkan semester sebelumnya. Jika dilihat dari angka absolutnya, jumlah penduduk miskin di Jakarta sebesar 449,07 ribu orang menurun 15,86 ribu orang terhadap Maret 2024.

Sementara itu, rata-rata lama sekolah penduduk Jakarta merupakan yang paling tinggi se-Indonesia. Mereka menempuh pendidikan selama 11,49 tahun atau sebatas menyelesaikan pendidikan SMA kelas dua.

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa tingkat pendidikan mempengaruhi penurunan tingkat kemiskinan di suatu daerah. Namun ironisnya, DKI Jakarta pernah mencatatkan angka putus sekolah dasar tertinggi se-Indonesia.

Sependapat dengan Francis, Leon H. Keyserling dalam the seven marks of poverty pada konferensi ekonomi di Washington DC 1964 menyatakan bahwa anak anak dari keluarga miskin menanggung beban yang berat ketika masuk sekolah, sedikitnya motivasi dan kebanggaan mengakibatkan terhambatnya progres belajar bagi anak tersebut.

Polanya terlihat jelas, si miskin secara umum terisolasi dari komunitas dia tinggal. Anak mereka menjadi minder dan kurang percaya diri. Kurangnya pengalaman sosial menyebabkan lambannya mereka belajar sehingga akhirnya tertinggal dari teman temannya. Selain itu, kesulitan dalam mencari pekerjaan, gagal dalam bersosialisasi dan sedikit keterampilan akhirnya membentuk mental putus asa.

Fenomena-fenomena tersebut menunjukkan suatu pengulangan proses yang terus menerus oleh generasi keluarga miskin. Para peneliti menyebutnya lingkaran kemiskinan (The Poverty Cycle).

Pemerintah pusat maupun Provinsi DKI Jakarta telah merancang program untuk mengentaskan kemiskinan multidimensi melalui pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.

Strategi penanggulangan kemiskinan salah satunya yaitu strategi pengurangan beban pengeluaran masyarakat meliputi penyaluran berbagai program bantuan sosial seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Jakarta Pintar (KJP), Kartu Jakarta Mahasiswa Unggul (KJMU), Kartu Lansia Jakarta (KLJ), Kartu Anak Jakarta (KAJ), dan berbagai subsidi.

Selain itu, pemerintah juga menerapkan strategi peningkatan produktivitas dan pendapatan masyarakat, seperti pelatihan kerja, bursa kerja, dan pelatihan entrepreneurship, serta strategi pengurangan kantong-kantong kemiskinan seperti penataan kualitas pemukiman.

Memutus lingkaran kemiskinan memang tidak mudah. Peningkatan kesempatan kerja, peningkatan kesempatan pendidikan yang lebih tinggi dan peningkatan bantuan kesejahteraan tidak serta merta dapat menghilangkan kemiskinan.

Ada faktor lain yang perlu menjadi perhatian pemerintah dan kita semua yaitu menanamkan motivasi, ketertarikan dan rasa berharga kepada masyarakat miskin sehingga mendorong mereka untuk menjadi bagian dari masyarakat normal.

*) Annisa Nur Fadhilah adalah Statistisi di BPS Provinsi DKI Jakarta

Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |