Jakarta (ANTARA) - Tahun ini genap 70 tahun sejak diselenggarakannya Konferensi Asia Afrika (KAA).
Namun, Popong Otje Djunjunan masih ingat betul betapa berbedanya wajah Bandung, dan Indonesia secara keseluruhan, pada 1955 ketika pertemuan tingkat tinggi bersejarah itu diadakan.
Saat itu, Popong, yang masih berusia 17 tahun dan duduk di bangku SMA, menjadi salah satu pemandu muda yang menyambut para pemimpin dunia di Hotel Savoy Homann, Bandung.
"Kerja sama internasional harus terus berlanjut, tanpa diskriminasi," kata Popong, yang waktu itu menjadi salah satu pemandu muda yang menyambut para pemimpin dunia di Hotel Savoy Homann Bandung pada 1955.
Bandung menjadi tuan rumah Konferensi Asia Afrika pertama pada 1955, yang mempertemukan para presiden, perdana menteri, dan pemimpin dari 29 negara dan kawasan dalam semangat bersama untuk membebaskan diri dari kolonialisme dan imperialisme.
Menurut Popong, Indonesia telah mengalami kemajuan yang signifikan selama tujuh dekade terakhir melalui kemajuan di bidang pendidikan, ekonomi, dan transportasi.
"Begitu pula Bandung, yang kini sudah dikenal secara global, menarik banyak sekali wisatawan mancanegara," kata Popong kepada Xinhua baru-baru ini di rumahnya di Bandung.

Saat bertugas pada KAA 1955, Popong dan sembilan remaja lainnya mengenakan kebaya tradisional dengan rambut disanggul. Mereka ditugaskan untuk memperkenalkan masakan Sunda, salah satu makanan paling populer di Indonesia, dan minuman Sunda kepada para pemimpin negara dalam bahasa Inggris.
Sajian yang diberikan termasuk rangginang, colenak, opak, dan minuman seperti bandrek dan bajigur.
"Kami bertindak sebagai pemandu di hotel, menyambut para tamu," kenang Popong.
Dia dengan gembira menceritakan kembali pertemuannya dengan perdana menteri Mesir saat itu, Gamal Abdel Nasser, yang bertanya tentang bajigur.
"Dengan tinggi badan yang hanya 150 sentimeter, saya harus menjulurkan leher selama beberapa menit untuk berbicara dengannya," tutur Popong sambil tersenyum.
Kala itu, dia pun menjelaskan resep minuman yang terbuat dari santan, jahe, dan gula aren tersebut.
Popong menyampaikan bahwa Indonesia bukan satu-satunya negara yang telah berubah sejak saat itu. "Kolonialisme telah memudar, dan kini negara-negara Asia dan Afrika sedang membangun kembali diri mereka secara ekonomi dan politik," ucap dia.
Dia menyoroti bahwa pembangunan global bergantung pada hubungan antarmanusia, khususnya hubungan lintas perbatasan. "Kerja sama internasional harus terus berlanjut, tanpa diskriminasi," tuturnya.
Popong, yang kini berusia 87 tahun, telah mengabdi selama 25 tahun di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dengan spesialisasi di bidang pendidikan dan kebudayaan, sebelum dia pensiun pada 2019.
Dia mengajak generasi muda untuk menjunjung tinggi semangat Konferensi Asia Afrika guna berkontribusi bagi kemajuan dunia.
"Di dunia yang mengglobal ini, kita harus belajar dari orang lain, baik itu semangat, etos kerja, maupun disiplin mereka," kata Popong, yang juga menyebut China sebagai contoh.
"Ada pepatah berbunyi, 'Carilah ilmu sampai ke negeri China'," imbuhnya.
Editor: Yuni Arisandy Sinaga
Copyright © ANTARA 2025