Jakarta (ANTARA) - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menegaskan Vessel Monitoring System (VMS) memiliki keunggulan signifikan dibandingkan Global Positioning System (GPS) dan Automatic Identification System (AIS) dalam pemantauan kapal nelayan.
"GPS sama VMS itu beda. Kalau VMS ini kita bisa melakukan pendeteksian, tracking-nya jelas. Terus bisa dimunculkan real-time-nya, bisa lacak siapa pemilik kapal," kata Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP Pung Nugroho Saksono (Ipunk) di Jakarta, Rabu.
Ipunk menyampaikan hal itu ketika dikonfirmasi mengenai sejumlah nelayan yang tergabung dalam Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Nusa Tenggara Timur menolak pemasangan VMS pada kapal di bawah 30 GT.
Para nelayan menolak VMS karena merasa biaya pemasangan dan operasional mahal; tidak memiliki fungsi melacak keberadaan ikan, melainkan hanya memantau posisi nelayan; hingga mengusulkan agar fungsi VMS bisa digantikan oleh GPS yang lebih murah dan relevan.
Menanggapi hal itu, Ipunk menyampaikan bahwa VMS memungkinkan deteksi lokasi kapal secara real-time, menampilkan identitas kapal dan pemiliknya secara jelas, serta mempermudah koordinasi bila terjadi kecelakaan atau kejadian darurat di tengah laut.
Berbeda dengan GPS yang hanya menunjukkan titik lokasi dan dapat diakses semua orang, sistem VMS hanya dapat diakses oleh KKP dan pemilik kapal, sehingga data posisi kapal lebih aman dari penyalahgunaan atau potensi pengintaian oleh pihak lain.
Begitu pun dengan AIS memang berguna untuk keselamatan navigasi laut, tetapi karena bersifat terbuka, sistem tersebut justru rentan dimanfaatkan oleh kompetitor untuk mengetahui lokasi tangkapan kapal nelayan lain.
Dengan sistem AIS, sesama nelayan dapat saling memantau posisi kapal satu sama lain, yang berisiko menimbulkan konflik wilayah tangkapan atau aksi saling serang di tengah lautan.
"AIS memang berguna untuk keselamatan navigasi, karena sinyalnya terbuka dan bisa dibaca oleh kapal lain yang ada di laut, maupun semua aparat se-Indonesia, se-dunia pun bisa. Tapi karena bersifat terbuka, AIS juga mudah dimatikan atau dimanipulasi dan tidak dirancang khusus untuk pengawasan perikanan," jelasnya.
Sebaliknya, VMS bersifat tertutup dan eksklusif, menjadikannya lebih andal untuk keperluan pengawasan perikanan serta perlindungan atas nilai dan wilayah pengelolaan sumber daya ikan nasional.
KKP menjelaskan fungsi utama VMS adalah untuk menjamin akurasi dan akuntabilitas dalam aktivitas penangkapan, sekaligus memastikan kapal beroperasi secara legal dan sesuai zona penangkapan.
Pemanfaatan VMS juga mendukung traceability atau ketelusuran produk perikanan, sehingga hasil tangkapan dapat dipastikan berasal dari praktik perikanan berkelanjutan dan memenuhi standar ekspor internasional.
KKP menegaskan hanya melalui VMS pemerintah dapat merancang kebijakan alokasi wilayah tangkap secara akurat, dengan mempertimbangkan sebaran kapal dan potensi sumber daya ikan di lautan.
Selain itu, data VMS turut menjadi dasar dalam menghindari tumpang tindih wilayah tangkapan dan mendeteksi kapal-kapal asing atau ilegal yang mencoba memasuki wilayah perairan Indonesia secara diam-diam.
"Kapal-kapal asing, semua wajib AIS. Bahkan kapal ilegal yang tidak ada (VMS), pakai AIS mereka. Kami sering mendapat laporan dari masyarakat Natuna, ada kapal asing masuk. Kita cek, AIS-nya nyala. Nah kita tangkap," bebernya.
Dengan keunggulan teknis dan keamanan data yang lebih tinggi, VMS telah menjadi instrumen vital bagi Indonesia dalam menegakkan kedaulatan maritim serta mendukung pengelolaan perikanan yang adil dan berkelanjutan.
"Jadi secara gambaran bisa bisa dicerna, itu bedanya VMS dengan AIS. Oh kenapa diwajibkan? Supaya pemerintah dalam hal membuat kebijakan untuk memberikan alokasi wilayah tangkapan itu benar-benar bisa sesuai dengan keberadaan kapal," kata Ipunk.
Baca juga: KKP tegaskan tak ada tambahan biaya pajak pemasangan VMS
Baca juga: KKP tegaskan nelayan kecil tak wajib pasang alat pemantau VMS
Baca juga: KKP: VMS lindungi nelayan dari bajak laut dan kerugian pemilik kapal
Pewarta: Muhammad Harianto
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2025