Kenangan pasangan suami istri tentang Konferensi Asia-Afrika 1955

12 hours ago 4

Jakarta (ANTARA) - Inen Rusnan adalah fotografer termuda Indonesia yang ditugaskan untuk meliput Konferensi Asia-Afrika (KAA) 1955 yang diselenggarakan di Bandung, Provinsi Jawa Barat.

Pada usia 18 tahun, Inen hilir mudik tanpa lelah untuk mengabadikan foto para delegasi dari setiap negara yang berpartisipasi selama acara bersejarah tersebut.

Ketika Xinhua mewawancarainya belum lama ini di kediamannya di Bandung, Inen sudah berusia 88 tahun. Dia menjawab pertanyaan dengan bantuan istrinya, Dedeh Kurniasih (78), yang juga menyaksikan konferensi monumental tersebut.

Pada 18 April 1955 pagi, Inen mengendarai sepeda motornya menyusuri jalan-jalan di Bandung menuju Hotel Savoy Homann. Di dalam tasnya, dia membawa hingga 20 rol film, yang akan ditambahnya kembali setelah semua film digunakan.

Tugas pertamanya adalah di lobi hotel, tempat dia memotret para delegasi yang sedang menunggu kedatangan presiden Republik Indonesia saat itu, Soekarno.

Setelah menyelesaikan tugas tersebut, Inen pun berangkat menuju Gedung Merdeka, yakni lokasi utama penyelenggaraan konferensi.

Dari balkon yang menghadap ke aula, Inen memotret jalannya konferensi, termasuk pidato Soekarno yang penuh semangat.

"Foto adalah saksi sejarah. Saya memotret semua delegasi, terutama mereka yang duduk di bagian VIP, serta setiap momen penting," kata Inen kepada Xinhua.

Pada 1955, teknologi fotografi masih terbatas. Gambar masih dalam bentuk hitam putih, dan hanya segelintir orang yang tahu cara memakai kamera, dan Inen termasuk di antara mereka.

Dia belajar fotografi pada usia 16 tahun dari ayah angkatnya, James Adiwijaya, pemilik James Press Photo Agency. James-lah yang membawa Inen ke konferensi tersebut, dan foto-foto bidikannya didistribusikan ke surat kabar dan panitia acara.

Di sela-sela sesi, Inen bergegas ke studio foto yang berjarak 5 kilometer untuk mencetak foto-fotonya. Sebagian fotonya dikirim ke surat kabar untuk dijadikan berita utama keesokan harinya, sementara yang lainnya diberikan sebagai cendera mata untuk para delegasi.

Saat ini, banyak karyanya yang dipajang di Gedung Merdeka, yang kini menjadi Museum Konferensi Asia-Afrika.

Selain Inen, saksi sejarah KAA 1955 lainnya adalah Dedeh Kurniasih, yang saat itu duduk di bangku kelas dua sekolah dasar, dan menjadi salah satu anak yang terpilih untuk menyambut para delegasi.

Dedeh teringat bangun pagi-pagi sekali pada hari itu, kegembiraannya terlihat jelas saat dia dan kawan-kawan sekelasnya naik delman menuju Gedung Merdeka.

"Bandung saat itu sangat ramai. Orang-orang berjejer di jalan, pria, wanita, lansia, dan anak-anak, semua bersorak-sorai ketika para delegasi melintas dalam busana tradisional mereka," kenang Dedeh.

Dedeh dan kerumunan orang melambaikan bendera dan menyanyikan lagu "Halo-Halo Bandung" selama prosesi bersejarah tersebut dari Hotel Savoy Homann.

Setelah menikah dengan Inen, Dedeh mendapatkan wawasan yang lebih dalam tentang konferensi tersebut melalui foto-fotonya.

Kini, pasangan tersebut kerap menerima kunjungan dari para jurnalis dan peneliti, dan sesekali mengajak cucu-cucu mereka ke museum untuk berbagi kenangan.

Meskipun tujuh dekade telah berlalu, Konferensi Asia-Afrika 1955 tetap menjadi babak yang menentukan dalam hidup mereka, bukti sebuah momen ketika dunia berkumpul di Bandung.

Seorang fotografer muda, bersama seorang anak sekolah, menjadi bagian dari sejarah itu.

Pewarta: Xinhua
Editor: Yuni Arisandy Sinaga
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |