Jakarta (ANTARA) - Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM) merekomendasikan pembentukan tim gabungan pencari fakta (TGPF) untuk mengusut tuntas kasus dugaan pelanggaran hukum dan HAM terhadap mantan pemain Oriental Circus Indonesia (OCI).
“Pembentukan TGPF atas dasar adanya permintaan resmi DPR RI terlebih dahulu berdasarkan hasil kesimpulan tertulis dalam rapat DPR RI,” ucap Direktur Jenderal Pelayanan dan Kepatuhan HAM Munafrizal Manan dalam konferensi pers di Kementerian HAM, Jakarta, Rabu.
Berdasarkan hasil pendalaman atas pengaduan korban, Kementerian HAM menemukan adanya dugaan pelanggaran hukum dan HAM. TGPF dinilai perlu guna melakukan pendalaman lebih lanjut yang bersifat investigatif mengingat kompleksnya kasus ini.
Kasus yang terjadi sejak sekitar tahun 1970-an ini disebut kompleks karena panjangnya rentang waktu peristiwa, persoalan penetapan subjek hukum, aspek pembuktian, serta kerentanan korban yang mengalami dampak sosial dan psikologis hingga kini.
“Kalau TGPF dibentuk dan menggali semakin banyak fakta atas kasus ini, pada akhirnya nanti temuan fakta itu juga akan berujung pada opsi penyelesaian seperti apa untuk mewujudkan keadilan bagi para mantan pemain sirkus OCI,” ujarnya.
Oleh karena itu, Kementerian HAM memberikan opsi-opsi yang dapat ditempuh untuk memenuhi rasa keadilan bagi korban, antara lain, melalui penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu, hukum pidana umum, keperdataan, keadilan restoratif, dan mediasi.
Penyelesaian melalui kerangka pelanggaran HAM berat masa lalu dapat ditempuh mengingat peristiwa yang diadukan korban terjadi puluhan tahun lalu, sehingga berpotensi kedaluwarsa menurut peraturan perundang-undangan.
Namun, langkah ini memiliki sejumlah tantangan, seperti harus dapat membuktikan unsur serangan sistematis atau meluas sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Tantangan lainnya, kata Munafrizal, harus melalui penyelidikan pro justitia oleh Komnas HAM sebagai penyelidik, harus melalui penyidikan dan penuntutan oleh Jaksa Agung sebagai penyidik dan penuntut umum, serta memerlukan persetujuan DPR RI untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc.
Sementara itu, penyelesaian melalui jalur hukum pidana dapat digunakan karena diduga kuat para mantan pemain OCI mengalami sejumlah tindak pidana seperti eksploitasi anak, penyiksaan, perdagangan orang, hingga pemisahan dari keluarga yang berujung pada penghilangan identitas.
Kendalanya, tutur Munafrizal, sebagian besar peristiwa yang dilaporkan terjadi pada dekade 1970-an hingga 1990-an sehingga secara formal dapat dinyatakan telah melampaui batas waktu penuntutan pidana.
Meskipun demikian, Kementerian HAM mendorong kepolisian untuk mencermati bahwa sebagian tindakan pidana tersebut memiliki dampak berkepanjangan yang belum sepenuhnya berhenti hingga kini, seperti penghilangan identitas atau tidak adanya pemulihan yang memadai.
Kecenderungan pola keberulangan yang bisa saja dialami oleh generasi pemain OCI yang lebih muda juga perlu diperhatikan. Oleh sebab itu, Polri yang pada tahun 1999 telah menetapkan penghentian penyidikan dinilai dapat membuka kembali penyelidikan kasus ini atas dasar bukti baru (novum).
Dari sisi pendekatan perdata, para korban dapat menuntut ganti rugi, pengakuan atas kerugian non-material secara spesifik, serta rekonstruksi hubungan hukum antarpihak. Namun, aspek pembuktian dikhawatirkan menjadi kendala utama.
Adapun terkait pendekatan keadilan restoratif, Kementerian HAM menyebut korban dapat menempuh langkah ini untuk membuka ruang pengakuan kebenaran, permintaan maaf, pemberian kompensasi atau bentuk pemulihan lainnya, serta rekonsiliasi.
Kemudian, pendekatan mediasi dapat dipertimbangkan sebagai instrumen penyelesaian yang relevan dan adaptif. Mediasi dapat diformulasikan bukan sebagai bentuk penyelesaian pelanggaran terhadap anak saja, melainkan juga upaya pengakuan terhadap kerugian historis korban yang masih membekas.
Baca juga: Kementerian HAM temukan dugaan pelanggaran hukum dan HAM dalam kasus OCI
Baca juga: Kementerian HAM segera sampaikan laporan akhir usai periksa kasus OCI
Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2025